Jumat, 20 Desember 2019

Serat Suluk Gatolotjo 13



Serat Gatholoco

Serat Suluk Gatolotjo 13


Ilmu mistik Jawa sebenarnya tidak beda dengan ilmu mistik suku lain atau bangsa lain. Ilmu ini hitam putih. Yang mencelakai dan merugikan orang lain disebut ‘ilmu hitram’, sedang yang ‘menolong’ dan untuk ‘kebaikan’ disebut ‘ilmu putih’.

Dalam kasus ‘sakralitas vagina’ ini yang disebut ‘ilmu putih’ adalah perempuan yang memelet suaminya sendiri karena punya selingkuhan atau Wanita Idaman Lain (WIL).

Suaminya ‘ditaleni’ (diikat) agar tidak bisa ereksi saat kencan dengan wanita selingkuhannya itu. Cara untuk ‘naleni’ ini dilakukan ketika bercinta dengan merapal doa yang dilakukan saat keduanya mencapai orgasmus.

Dijamin jika laki-laki itu tidak tahu cara menangkalnya, maka seumur-umur dia akan jadi ‘suami setia’ karena ‘burungnya’ terus tidur, tidur terus kata Mbah Surip.

Dalam uborampe (kelengkapan) ritual mistik, ‘posisi’ kemaluan perempuan juga sangat vital. Bagi mereka yang ingin olah kanoragan, menjalankan lelaku agar sakti, tidak mempan dibacok dan dibedil lakak-lakak (ditembak tidak mati tapi malah tertawa terbahak-bahak), serta agar bisa mendapatkan ilmu panglimunan (menghilang), membutuhkan bagian dari organ intim dari perempuan.

Bahkan prosesi guna-guna atau untuk melunturkan guna-guna, juga ‘perlu’ sarana ‘hasil’ produksi alat vital perempuan ini.

Sejauh yang banyak digunakan, terdapat tiga anasir penting yang diambil dari kemaluan perempuan untuk tujuan mistik. Pertama darah perawan bagi pengamal ilmu kanoragan agar sakti secara fisik. Ini mengingatkan pada kasus Sumo Salidi dari Kediri, Jawa Timur tahun 1984 yang lebih dikenal sebagai Sumo Bawuk.

Untuk kepentingan ritus itu, gadis-gadis cilik menjadi korban. Diperkosa secara biadab dan dibunuh. Gadis-gadis itu biasanya diculik ketika tidur, dan diperkosa di belakang rumah. Malah ada yang diculik di tempat hajatan, saat gadis cilik itu tidur ramai-ramai bersama keluarga yang lain.

Dalam puluhan kasus perkosaan yang diakhiri pembunuhan dengan korban gadis cilik itu ciri yang menonjol adalah rusaknya kemaluan mereka. Ada tengara gadis itu tidak sekadar diperkosa, tetapi terdapat ‘benda’ lain yang diinginkan untuk diambil. Ini yang memberi sinyal polisi, bahwa perkosaan dengan pembunuhan itu tidak ‘kriminal murni’.

Akhirnya polisi melakukan investigasi ke beberapa kelompok aliran mistik yang tumbuh subur di Kediri. Hasilnya diketahui, terdapat beberapa aliran pengamal ilmu kanoragan yang mempercayai ritus sakti dengan uborampe darah perawan.

Polisi kemudian mengawasi setiap anggota kelompok itu. Tatkala terjadi perkosaan dan pembunuhan lagi dengan korban gadis cilik polisi berhasil mengamankan pelakunya. Berdasar interogasi yang dilakukan mereka mengaku menjalankan ‘laku’ itu setelah berguru pada Sumo Salidi.

Lelaki yang kala itu sudah tidak bisa melihat dan biasa ‘nyuwuk’ (mengobati anak sakit dengan mantra) anak yang demam itu akhirnya ditangkap. Setelah melalui proses persidangan, akhirnya nama Sumo Salidi tergantikan dengan nama baru, Sumo Bawuk. Sumo yang suka bawuk (kemaluan perempuan).



sumo: aso, kèndêl
bawuk: 1 warna sêmu biru ut.klawu rêgêd; 2 pawadonan.


https://sawitplus.co/news/detail/6098/serat-suluk-gatolotjo-13--organ-perempuan-untuk-naleni-keperkasaan-lakilaki


Serat Suluk Gatolotjo 12



Serat Gatholoco

Serat Suluk Gatolotjo 12


Dalam mitologi Minahasa, Lumimuut terlahir dari batu karang. Batu itu terbawa ombak dan terdampar di pantai dekat gunung Wulur Mahatus. Saat panas terik, batu itu tiba-tiba meneteskan peluh. Peluh itu menggumpal dan membentuk tubuh manusia, seorang gadis jelita.

Sendirian di pulau kosong, Lumimuut berdoa untuk minta teman. Tuhan mengabulkan. Batu yang diinjaknya merekah, dan muncul sesosok manusia lagi. Jenis kelaminnya juga perempuan, bernama Tareniema yang lambat-laun disebut Karema.

Mendapat teman perempuan di pulau kosong yang kelak menjadi Minahasa itu tak membuat Lumimuut bahagia. Dia ingin kehadiran laki-laki. Gadis ini kembali berdoa. Di pantai yang lengang dia berdiri telanjang. Tangannya direntangkan ke atas, tegak mematung menghadap utara. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai lepas. Angin memainkan dan membelai tubuhnya. Tak lama Lumimuut hamil. Kelak dia melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Toar.

Ada laki-laki tetapi anak sendiri membuat Lumimuut tetap kesepian. Maka dipakailah ‘cara’ menghapus hambatan sedarah. Dua kayu dijadikan tongkat berukuran sama. Dengan tongkat itu Toar dan Lumimuut memutari bukit arah berlawanan. Kalau saat bertemu nanti panjang tongkat itu tidak sama, maka keduanya sah untuk berkasih mesra.

Dan betul, perjalanan jauh membuat dua tongkat itu tak sama panjangnya. Itu karena tingkat keausan serta ada tongkat yang tumbuh. Akhirnya ibu dan anak ini jadi suami istri. Dari Toar dan Lumimuut itu terlahir manusia yang diyakini sebagai asal Suku Minahasa sekarang.


TOAR DAN LUMIMUUT


Dahulu kala, di pantai barat Pegunungan Wulur Mahatus terdapat sebuah batu karang yang bagus bentuknya. Batu karang itu tidak dihiraukan orang karena memang belum ada manusia di sekitarnya.

Suatu ketika di musim kemarau, cahaya matahari begitu menyengat sehingga batu karang itu mengeluarkan keringat. Pada saat itu pula, terciptalah seorang wanita yang cantik. Namamya Karema. Ia berdiri sambil menadahkan tangan ke langit dan berdoa, “O, Kasuruan opo e wailan wangko.” Artinya, “O Tuhan yang Maha Besar, jika Kau berkenan, nyatakanlah di mana aku berada serta berikanlah teman hidup untukku.”

Setelah selesai mengucapkan doa, batu karang itu pun terbelah menjadi dua dan muncullah seorang wanita cantik. Karema pun tidak sendiri lagi. Ia berkata kepada wanita itu, “Karena kau tercipta dari batu yang berkeringat, engkau kuberi nama Lumimuut. Keturunanmu akan hidup sepanjang masa dan bertambah seperti pasir di pantai laut. Akan tetapi, kamu harus bekerja keras memeras keringat.”

Pada suatu hari, Karema menyuruh putrinya yang cantik molek itu menghadap ke selatan agar ia hamil dan memberikan keturunan. Lumimuut pun melaksanakan perintah ibunya, tetapi tidak terjadi suatu apa pun. Karena ke arah selatan tidak berhasil, Lumimuut disuruh menghadap ke arah timur, barat, dan utara. Hal ini pun tidak membawa hasil.

Kemudian, upacara diadakan lagi. Lumimuut disuruh menghadap ke arah barat yang sedang berhembus angin kencang. Lama-kelamaan, setelah upacara selesai, badan Lumimuut menjadi lain. Ternyata, Lumimuut sudah hamil.

Selama hamil, Lumimuut selalu dijaga dan dirawat dengan penuh kasih sayang oleh Karema. Ketika saatnya tiba, Lumimuut pun melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Toar. Toar pun diberi pengetahuan dan kemampuan seperti yang dimiliki Karema.

Pertumbuhan badan Toar sangat cepat. Bentuk tubuhnya besar, kuat, kekar, dan perkasa. Di belantara hutan, Toar tidak takut dan tidak dapat ditaklukkan oleh anoa, babi rusa, maupun ular.

Setelah Toar dewasa, berkatalah Karema kepada Toar dan Lumimuut, “Sekarang sudah saatnya kalian berdua mengembara mengelilingi dunia. Aku sudah menyediahkan dua tongkat sama panjang. Tongkat untuk Toar terbuat dari pohon tuis dan tongkat untuk Lumimuut terbuat dari pohon tawaang. Kalau nanti dalam pengembaraan, kalian bertemu dengan seseorang, baik pria maupun wanita membawa tongkat seperti ini, bandingkanlah dengan tongkat kalian. Kalau tongkat kalian sama panjang, berarti kalian masih terikat keluarga. Akan tetapi, bila tongkat itu berbeda dan tidak lagi sama panjang, kalian boleh membentuk rumah tangga. Semoga hal ini terjadi dan kalian akan menghasilkan keturunan. Keturunan kalian akan hidup terpisah oleh gunung dan hutan rimba. Namun, akan tetap ada kemauan untuk bersatu dan berjaya.”

Nuwu (amanat) Karema menjadi bekal bagi Lumimuut dan Toar dalam pengembaraan mereka. Gunung dan bukit mereka daki. Lembah dan ngarai mereka lalui. Toar ke arah utara dan Lumimuut ke arah selatan. Tuis di tangan Toar bertambah panjang, tetapi tawaang di tangan Lumimuut tetap seperti biasa.

Pada suatu malam bulan purnama, di tengah kilauan sinar bulan, bertemulah Toar dengan Lumimuut. Sesuai dengan amanat Karema, mereka pun membandingkan tongkat masing-masing. Ternyata, tongkat mereka tidak sama panjang lagi sehingga upacara pernikahan pun dilaksanakan. Bintang dan bulan sebagai saksi. Puncak gunung tempat pelaksanaan upacara tampak bagaikan bola emas. Gunung itu kemudian dinamakan Lolombulan.

Setelah upacara pernikahan, mereka pun mencari Karema. Akan tetapi, ia tidak ditemukan. Kemudian, mereka menetap di daerah pegunungan yang banyak ditumbuhi buluh tui (buluh kecil). Di sanalah mereka beranak cucu. Keturunan demi keturunan, kembar sembilan (semakarua siyouw), dua kali sembilan. Kelahiran keturunan itu selalu disambut bunyi siul burung wala (doyot) yang dipercaya sebagai pertanda memperoleh limpah dan berkat karunia.

http://ceritarakyatminahasa.blogspot.com/2010/08/toar-dan-lumimuut.html 

Dalam mitos Sangkuriang, subyek dari ‘sakralitas vagina’ itu tidak anak sendiri tetapi satwa. Dayang Sumbi rela menyerahkan yoninya untuk dibuahi Sagopi, anjing piaraannya, hanya karena hewan itu melaksanakan nazarnya. Dari perkawinan itu lahirlah Sangkuriang yang kemudian diusir dari rumah karena membunuh anjing yang tidak diketahui bahwa dia adalah bapaknya.

Jika ‘cara’ Toar dan Lumimuut membenarkan problem ‘Oedipus Compleks’ dengan sarana tongkat, maka Dayang Sumbi memakai pola Wisrawa. Sagopi bukan anjing biasa. Dia satwa jelmaan dewa. Untuk itu jika ini dikembalikan pada ‘kepercayaan’, maka yang terjadi memang harus terjadi. Sudah takdir.

Telisik ‘asal’ sakralitas vagina macam ini memang diyakini berasal dari India. Secara apologia, di negeri itu kuil disebut sebagai  garbhagrha गर्भगॄह, rumah yang disucikan. Dalam pembangunannya, master kuil itu berdasar lukisan perempuan. Posisinya duduk menekuk dua kaki, dengan penekanan bagian terlarang dilukis transparan.



Garbhagriha (bahasa Sanskerta: गर्भगॄह, garbhagṛha) adalah bilik yang paling dikeramatkan di dalam Mandir (kuil, pura, atau rumah ibadat agama Hindu), tempat persemayaman murti (patung atau lambang) dari dewa utama yang dipuja di kuil itu. Secara harfiah, garbhagriha berarti bilik rahim. Istilah ini berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Sanskerta, yakni garbha yang berarti rahim, dan gṛha yang berarti rumah. Hanya para pendeta atau pemimpin upacara pemujaan (pujari) yang dibenarkan memasuki bilik ini.

Meskipun kerap dikaitkan dengan kuil Hindu, garbhagriha juga terdapat dalam kuil-kuil Jaina dan Buddha.


Detail lukisan itu penting. Sebab skema itu menyuratkan saat kuil itu sudah berdiri. Rupa dan tubuh gadis memang tidak tergambar. Tetapi bagian vital sang gadis amat menentukan. Bagian ini menjadi pintu kuil. ‘Kemaluan’ sang perempuan adalah gambaran pintu masuk kuil.

Dengan begitu terdapat pesan, bahwa seseorang yang memasuki kuil sama dengan masuk ke dalam ruang suci, kembali ke sangkaning dumadi, yang secara kasat mata sama artinya dengan memasuki vagina, di mana manusia dilahirkan ke dunia.

Bagi pemahaman Jawa, rahim seorang ibu adalah guo garbo, guo sigarane bopo, gua ‘pecahan bapak’ (seperti tersirat dalam filosofi tumbu oleh tutup), gua kesucian. Di ‘gua’ ini embrio manusia disemaikan. Janin itu ‘bertapa’ selama sembilan bulan sebelum terlahir ke dunia. Di rahim ini manusia menjalani hidup sebelum hidup. Dan di rahim ini pula manusia berproses dalam kesempurnaan fisik dan psikisnya.

Sakralitas itu tidak melulu dipahami sebagai asal manusia menjadi manusia. Dalam kehidupan di dunia pun ‘asal’ manusia itu tetap dikultuskan, sebagai unsur kekuatan di luar kodrat kemanusiaannya. ‘Sakti’ secara kanoragan dan ‘sakti’ secara spiritual juga ‘bertumpu’ pada kepercayaan asaling dumadi itu. Dan akhirnya, mistisisme jadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari manusia Jawa.

https://sawitplus.co/news/detail/6084/serat-suluk-gatolotjo-12--ini-sakralitas-yoni-versi-minahasa


Kamis, 19 Desember 2019

Serat Suluk Gatolotjo 11



Serat Gatholoco

Serat Suluk Gatolotjo 11


Embok iku pangeran katon. Ibu itu Tuhan yang tampak. Kalimat itu sering terucap di desa-desa Jawa. Dengan kata lain, representasi Tuhan di dunia ini adalah ibu. Dia ‘pelahir’ kehidupan melalui gua garba, ‘gua kesucian’, dan dia pula yang dijadikan sesembahan. Pepunden.

Ini menunjukkan, bahwa dalam konsep lingga-yoni, kendati superioritas lelaki amat menonjol tetapi posisi ibu juga sangat ‘ditinggikan’. Dalam konsep ini asas keselarasan sangat penting. Harmonisasi diutamakan, tak perduli darinya menimbulkan disharmonisasi jika didekati melalui agama atau keyakinan tertentu.

Dalam persoalan ‘sakralitas vagina’, posisi ibu didramatisasi sebagai tuhan karena ’pelahir kehidupan’. Fungsi ibu adalah ‘tumbu’. Dia penyemai janin, ‘bibit manusia’. Tentang hubungan antara ‘bibit’ dengan ‘tumbu penyemai’ tidak banyak disoal. Itu karena yang tidak layak gampang menjadi layak jika digunakan ‘cara’ yang memungkinkan untuk membuatnya layak.

Sebab bagi keyakinan Jawa, ‘cara’ ini sangat fundamental. Baik dan buruk tidak bisa hanya didekati melalui kebaikan dan keburukan itu sendiri. Ada ‘cara’ penyampaian yang berlaku dan tepat agar kebaikan dan keburukan itu menjadi kebaikan.

Menariknya, ‘cara’ ini berlaku universal, termasuk dalam mensakralisasi vagina. ‘Kesakralan’ vagina itu sangat longgar. Bagi sebuah ritus, ‘tumbu’ dan ‘penutup tumbu’ tidak mengenal batas. ‘Moral’ dan ‘etika’ tidak cukup mampu membentengi.

Bahkan ‘tumbu dan penutup tumbu’ itu tak disoal dilakukan insan sedarah atau usia berbeda sangat jauh. Kakek dan perawan tidak masalah, adik dan kakak oke-oke saja, juga pasutri berganti pasangan atau ‘main seks’ keroyokan. Termasuk melibatkan hewan sebagai pasangan.

Dalam Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwat Diyu, Begawan Wisrawa sah menggauli Dewi Sukesih. ‘Cara’ untuk ‘mengesahkan’ hubungan orangtua ini dengan gadis yang ditaksir puteranya itu adalah dengan ‘melibatkan’ Bathara Guru dan Dewi Uma. Bathara Guru dan permaisurinya dikisahkan bangkit nafsu birahinya ketika mantra kesempurnaan itu dibabar Wisrawa.


Sastra Jendra Hayuningrat


Sastra Jendra Hayuningrat adalah suatu kitab atau ajaran suci berasal dari Tuhan yang merupakan rahasia dari agama yang dapat menyelamatkan umat dan dunia semesta yang terdapat dalam kisah pewayangan.Arti kata Sastra Jendra Hayuningrat berdasarkan tiap kata dapat diartikan Sastra berupa tulis, ilmu atau kitab. Jendra berarti milik raja atau diidentikkan dengan Tuhan. Hayuningrat berarti keselamatan umat dan dunia semesta. Sastra Jendra Hayuningrat ini identik dengan budaya Jawa dan kisah wayang Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi.

Makna Sastra Jendra Hayuningrat


Ngelmu wadining bumi kang sinengker Hyang Jagad Pratingkah. Artinya: Ilmu rahasia dunia atau alam semesta yang dirahasiakan atau berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Pangruwating barang sakalir. Artinya: Dapat membebaskan dan menyelamatkan segala sesuatu.
Kawruh tan wonten malih. Artinya: Tiada ilmu pengetahuan lain lagi yang dapat dicapai oleh manusia.
Pungkas-pungkasaning kawruh. Artinya: Ujung dari segala ilmu pengetahuan atau setinggi-tingginya ilmu yang dapat dicapai oleh manusia atau seorang sufi.
Sastradi. Artinya: Sastra Adiluhung atau ilmu yang luhur.

Riwayat


Dalam tradisi sastra Jawa Kuno istilah Sastra Jendra Hayuningrat dikenal dalam teks Uttarakanda Jawa Kuno. Teks Uttarakanda Jawa Kuno adalah gubahan dari teks Uttarakanda Sansekerta pada akhir 10 Masehi. Teks Uttarakanda Jawa Kuno berisi tentang kisah Rahvanotpatti atau kelahiran Rahwana. Isinya tentang keinginan Sumali untuk mengawinkan putrinya yang berwajah raseksi bernama Kaikasi dengan Visrava, dengan harapan supaya ia memperoleh keturunan yang menyerupai Vaisravana, seorang dewa cemerlang. Pada zaman Majapahit tahun 1379 M kisah Ravanotpatti ini digubah kembali oleh Mpu Tantular menjadi Kakavin Arjunavijaya.
 

Kisah Wisrawa dan Sukesi


Prabu Sumali mengumumkan sayembara bahwa siapa yang bisa menjabarkan ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, akan menjadi suami dari Dewi Sukesi. Ilmu yang disayembarakan ini adalah ilmu yang hanya diketahui oleh para dewa. Di kerajaan Lokapala, Prabu Danaraja meminta ayahnya Begawan Wisrawa untuk meminang Dewi Sukesi. Berangkatlah Begawan Wisrawa ke negeri Alengka untuk meninang Dewi Sukesi.

Karena ilmu yang diajarkan oleh Begawan Wisrawa adalah ilmu rahasia maka penjabaran ilmu tersebut dilakukan di tempat tertutup oleh Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi. Pada saat menjabarkan ilmu tersebut terjadilah keributan di kahyangan akibat ilmu tersebut. Untuk mencegah ilmu itu tersebar, Batara Guru dan Dewi Uma menyusup ke dunia. Batara Guru masuk ke dalam Begawan Wisrawa, sedangkan Dewi Uma masuk ke dalam Dewi Sukesi. Lalu terjadilah hubungan intim di antara Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi.

Karena peristiwa tersebut, Begawan Wisrawa dinikahkan dengan Dewi Sukesi. Prabu Danaraja yang mendengar kabar tersebut menjadi sangat marah karena dikhianati oleh ayahnya sendiri. Prabu Danaraja mengirimkan pasukan dari Lokapala untuk menggempur Alengka. Sewaktu Begawan Wisrawa dan Prabu Danaraja perang tanding, turunlah Batara Narada untuk memberitahukan kepada Prabu Danaraja bahwa Dewi Sukesi adalah jodoh ayahnya.

https://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jendra_Hayuningrat


 
Rahwana, anak dari Sukesi dan Wisrawa akibat menjabarkan ilmu Sastra Jendra Hayuningrat

Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi

Keempat anak Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi itu memiliki karakter dan sifat yang berbeda dan unik. Di antaranya:
  1. Rahwana/Dasamuka (raksasa). Ia mempunyai perangai yang jahat, bengis, serakah dan angkara murka ini sebagai simbol dari nafsu lauwamah.
  2. Sarpakenaka (raksasa wanita setengah manusia). Ia memiliki karakter suka pada segala sesuatu yang enak-enak, rasa benar yang sangat besar, senang mengumbar syahwat, tetapi ia sakti dan suka bertapa. Ia menjadi simbol nafsu supiyah.
  3. Kumbakarna (raksasa). Ia mempunyai karakter raksasa yakni bodoh tetapi setia, namun memiliki sifat pemarah. Karakter kesetiannya membawanya pada watak kesatria yang tidak setuju dengan sifat kakaknya Dasamuka yang serakah. Kumbakarna menjadi lambang dari nafsu amarah.
  4. Gunawan Wibisana (manusia seutuhnya). Ia mempunyai sifat yang sangat berbeda dengan semua kakaknya. Dia selalu berpegang pada kebenaran dan rela meninggalkan saudara-saudaranya yang dia anggap salah. Ia lalu mengabdi kepada Sri Rama untuk membela kebenaran. Karena itulah, ia pun menjadi perlambang dari nafsu mutmainah (nafsu yang baik).


Nitis Ngawanci Sastrahing Jendra


Cur pulung Mandala Agung,
– Mandala Sastrahing Jendra,
– Mandala Hayuning Ratu,
– Mandala Pangruwating Diyu,
– Mandala jatining rasa Geus ngucur jati rahayu,
– Jati Langit Lohing Mahpud,
– Nitis Bumi Loh Jinawi,
– Nitis sumereping ati,
– Ati kula ati Sunda,
– Matarema Insun – Dia,
– Ati rasa nu sajati,
– Nu ngancik na jero diri.
 
Pur ngempur cahyahing Mandalajati, nu ngebrak gilang gumilang, Nu hurung jero kurungan
Pur ngempur Mandala Agung Cahyahing gilang gumilang Nu nyaangan Pawenangan Sastrahing Jendra Hayuning Ratu Pangruwating Diyu PANGGUMULUNG “keun upayakeun” Mandala Jati kana “kun fayakuning” Mandala Agung.
Rep rerep sumerep-hing gumulung nyarungsum balung Tis nitis tumitis-hing ngagetih ngaati Jleg ngadeg Sastra-hing Jendra Hayun-hing Ratu Pangruwat-hing Diyu Nyurup ngamanusa Sunda Dina adegan Khalifah.



Pasutri yang terangsang itu akhirnya turun ke bumi. Bathara Guru menyusup dalam wadag Abiyasa. Sedang Dewi Uma menyusup ke dalam tubuh Dewi Sukaesih.

Tatkala Dewa dan Dewi itu berkasih mesra diteruskan melakukan hubungan intim, maka secara kasat mata itu adalah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukaesih. Tubuh keduanya dipakai ‘sarana’ pelampiasan nafsu dewa.

Dalam Serat Ruwat Kidung Sudamala, hubungan seks tanpa terikat tali perkawinan itu juga berlangsung antara Sudamala (Sadewa) dengan Bethari Durga, yaitu Dewi Uma istri Bathara Guru yang sedang menjalani kutukan.

Ratu Istana Gondo Mayit itu akan terbebas dari kutukan jika datang seorang ksatria tampan rupawan yang rela kencan. Akhirnya masuklah Bathara Guru ke dalam wadag Sadewa, dan satria ini melayani ratu demit itu di tempat tidur. Bethari Durga kembali menjadi Dewi Uma yang cantik jelita, sedang Sadewa selamat, tak jadi dimangsa.

Tak ada yang menyalahkan ‘tragedi cinta terlarang’ ini. Permisifitas terjadi, karena ‘cara’ yang digunakan agar asusila itu menjadi ‘susila’ melalui dewa yang kehendaknya lebih superior dibanding manusia. Dalam Islam dikenal kun fayakun. Jika Allah berkehendak, jadi, maka jadilah ! Tak ada kekuatan manusia. Semua itu kehendak Tuhan.

Namun benarkah ‘sakralitas vagina’ dan ‘cara’ membolehkan yang tidak boleh itu hanya monopoli Jawa? Ternyata tidak. Di Sulawesi Utara, mitos Toar dan Lumimuut yang diakui sebagai cikal-bakal etnis Minahasa juga hampir sama. Termasuk mitos Sangkuriang di tatar Sunda.


https://sawitplus.co/news/detail/6062/serat-suluk-gatolotjo-11--ini-mistik-vagina-representasi-dewa

Serat Suluk Gatolotjo 10



Serat Gatholoco

Serat Suluk Gatolotjo 10


Kepercayaan lingga yoni yang disimbolkan sebagai punden berundak itu tak lapuk di telan waktu. Dari masa ke masa keyakinan itu tetap terjaga. Bahkan Candi Borobudur yang dibangun abad delapan wangsa Syailendra pun sudah ‘menunjukkan’ kekuatan kepercayaan itu.

Bentuk candi ini ‘menyimpang’ jauh dari masternya, sebuah kuil di Sri Lanka. Candi Borobudur bentuknya tetap punden berundak. Padahal saat itu lagi jaya-jayanya agama Buddha yang dibawa etnis Sri Lanka itu.

Dan di era globalisasi sekarang ini, ternyata kepercayaan itu masih bersemi. Di Kemukus, Sragen, Jawa Tengah, ngalab berkah melalui ritus lingga-yoni itu tetap berjalan. Pasangan tidak saling kenal dan tidak terikat perkawinan rela ‘menyatukan’ lingga dan yoninya demi berharap keinginan terkabulkan.







Kepercayaan memang tidak masuk akal. Tapi siapa mampu merasionalisasi keyakinan jika itu yang diyakini, termasuk ‘ritus free-sex’ Kemukus?

LEGENDA GUNUNG KEMUKUS

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dewasa ini  masalah ekonomi menjadi sorotan oleh hampir di semua golongan masyarakat. Masalah ekonomi dan keuangan mempunyai dampak yang sangat besar bagi perkembangan masyarakat. Banyak orang mengeluh karena uang, banyak orang bermusuhan karena uang, banyak orang saling memfitnah karena uang.
Kemiskinan, kelaparan, korupsi yang sekarang ini marak terjadi terutama di Indonesia menjadikan orang-orang gila akan harta, sehingga kaya telah menjadi mind set baru masyarakat Indonesia. Memang tidak bisa dipungkiri kalau menjadi kaya, hidup  menjadi lebih mudah apalagi di era globalisasi seperti ini, yang semuanya diukur dengan menggunakan materi.
Mind set bahwa kaya penuh dengan kemudahan itulah yang menjadikan manusia berlomba-lomba mencari kekayaan. Ada yang mengusahakannya dengan berdagang, bercocok tanam di sawah, berwirausaha. Pekerjaan seperti ini tidak menjanjikan. Terlalu lama menunggu, terlalu banyak pula modal yang harus dikeluarkan, banyak saingan, apalagi pekerjaan seperti ini juga dipengaruhi faktor keberuntungan. Jalan pintas seperti metode klenik pun lalu dipakai agar mereka cepat berhasil. Mereka yang bergerak di bidang usaha relatif dekat dan akrab dengan cara-cara seperti itu agar impian menjadi kaya cepat terwujud.
Cara tradisional klenik tidak hanya dipakai oleh orang-orang yang bergerak di bidang usaha saja. Kaum intelek dan berpendidikan pun menggunakan cara yang sama untuk memperoleh pekerjaan, mendapatkan jabatan tinggi, disayang atasan, mempertahankan posisi atau kedudukan di pemerintahan, dan sebagainya.
Ketidaksabaran, kerakusan dan ketergesa-gesaan merupakan kharakter manusia sejak dahulu kala. Sebagian orang yang benar-benar tidak mampu menahan kemiskinan yang menimpa dirinya cenderung melakukan hal-hal sesat seperti mencari pesugihan. Mereka cenderung mencari pesugihan karena mereka sudah tidak mau memakai akal, mereka tidak mau berfikir panjang dan tidak mau memeras otak lagi untuk memperoleh kekayaan secara tiba-tiba. Pesugihan ini pun bisa ditempuh dengan berbagai cara, yaitu dengan menggunakan tuyul, babi ngepet atau melakukan ritual tertentu di tempat yang dikeramatkan seperti di Gunung Kemukus, Makam Pangeran Samodra.
Pemilihan Makam Pangeran Samodra di Gunung Kemukus, Sragen, Jawa Tengah sebagai lokasi penelitian folklore tentunya sangat beralasan. Makam Pangeran Samodra telah menjadi legenda yang sangat terkenal. Tempat ini digunakan untuk ritual mencari pesugihan atau ngalap berkah, selain itu tempat ini juga telah menjadi objek wisata yang sangat terkenal.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka, dapat diuraikan beberapa rumusan masalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana deskripsi folklor legenda Gunung Kemukus itu?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan folklor legenda Gunung Kemukus?
3.      Apa fungsi folklor Gunung Kemukus bagi masyarakat?

C.    Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian tersebut adalah sebagai berikut.
1.      Mendeskripsikan folklor legenda Gunung Kemukus.
2.      Menceritakan sejarah perkembangan folklor legenda Gunung Kemukus.
3.      Mengungkapkan fungsi folklor legenda Gunung Kemukus bagi masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Deskripsi Legenda Gunung Kemukus
Seorang bangsawan, Pangeran Samodra namanya, elok parasnya, indah budi bahasanya, lembut tutur katanya, lengkap tata kramanya, serta baik dan jujur hatinya, dimakamkan di Gunung Kemukus. Ia adalah salah seorang putra Pangeran Kadilangu, nama lain Kanjeng Sunan Kalijaga. Sebenarnya, kisah yang hidup di wilayah Gunung Kemukus ini agak membingungkan sebab sumber sejarah mengatakan putra Sunan Kalijaga bernama Sunan Muria. Akan tetapi, legenda bukanlah sejarah. Yang penting, cerita seperti ini hidup di wilayah itu dalam rangka ingin menerangkan asal-muasal makam yang senantiasa dianggap keramat.
Ketika Kerajaan Majapahit mendekati saat akhir karena berbagai pemberontakan dari dalam negeri terutama serangan Girindrawardana, banyak bangsawan dan punggawa yang melarikan diri. Konon, di antara mereka ada yang melarikan diri ke wilayah Gunung Tengger dan ada pula yang menyeberang ke Pulau Bali. Pangeran Samodra juga mengalami kebimbangan antara kehendak menyelamatkan diri, atau tinggal di Kerajaan Majapahit karena cintanya kepada wilayah itu, atau mengikuti Raden Patah ke Demak. Beberapa malam, ia berpikir dan mempertimbangkan keputusan yang paling baik. Akhirnya, setelah melewati permenungan dan pembicaraan lama dengan Raden Patah yang mengemukakan bahwa Pangeran Samodra bukan saja andal dalam sifat, kecerdasan, dan keterampilan, tetapi juga dapat memberikan bantuan dan dukungan kepadanya di Demak. Pangeran Samodra memutuskan untuk bergabung dengan Raden Patah. Kepergian Pangeran Samodra diikuti ibu tirinya yang terkenal cantik dan awet muda bernama Dewi Ontrowulan.
Ketika tiba di Demak, Raden Patah dan rombongan segera menyiapkan tata pemerintahan dan menghimpun kekuatan untuk menyerang Girindrawardana yang tengah menguasai Majapahit. Sebagai raja muda, Raden Patah menyadari bahwa pemerintahan yang baik adalah yang dapat membuat rakyat makmur dan kepentingan mereka dilindungi. Untuk itu, diperlukan cara memerintah yang adil dan bijaksana. Tidak kalah pentingnya adalah keamanan bagi rakyat. Salah satu upaya menjaga keamanan adalah mengusahakan agar di Kerajaan Demak tidak terjadi rongrongan dari para pengacau. Langkah awal yang dirasa perlu dilakukan adalah mengumpulkan kembali para bangsawan Majapahit, terutama saudara-saudara Pangeran Samodra yang melarikan diri. Jika para bangsawan, punggawa, saudara-saudara Raden Patah dan Pangeran Samodra bersatu di bawah naungan Kerajaan Demak, bukan saja kerajaan itu menjadi kokoh dan kuat karena dukungan petinggi-petinggi berwibawa, melainkan juga kekhawatiran akan munculnya permusuhan dari kalangan sendiri dapat dihindari. Selain itu, dalam rangka persiapan menggempur Girindrawardana, dukungan dari para petinggi itu sangat penting.
Konon, pada suatu malam Pangeran Samodra di­panggil Raden Patah untuk menghadap. Raden Patah men­jelaskan gagasannya kepada Pangeran Samodra. Tanpa banyak komentar, Pangeran Samodra segera menyanggupi tugas berat itu. Ketika Pangeran Samodra mulai mencari para petinggi yang tercerai-berai, kesulitan mulai dialaminya meskipun ia diiringi sejumlah punggawa. Para petinggi itu bukan saja tidak diketahui tempat tinggalnya, melainkan juga ada kesengajaan bersembunyi karena takut. Ada pula penduduk yang berniat melindungi persembunyian mereka sehingga pencarian semakin sulit. Untunglah, Pangeran Samodra seorang pemuda yang gigih dan tidak mudah patah arang. Ketekunan, keuletan, serta ketakwaannya kepada Tuhan membuahkan hasil yang tidak kecil. Beberapa bangsawan dapat ditemui dan dibujuk untuk mendukung Raden Patah.
Mula-mula, di lereng Gunung Lawu, Pangeran Samodra bertemu dengan Raden Gugur. Kemudian, ia bertemu dengan Raden Bethara Katong, yang dikenal sebagai Adipati Ponorogo. Beberapa bangsawan, petinggi, serta punggawa yang lain juga dapat ditemui dan dibujuk dan yang terakhir ditemui adalah Adipati Madiun.
Setelah cukup lama tidak berjumpa dengan Pangeran Samodra, perasaan rindu Ontrowulan kepada putra tiri tunggalnya itu mulai menderu. Pada siang hari wajah Pangeran Samodra membayang, pada malam hari sang Pangeran seakan datang lewat lubang-lubang mimpinya.
Sementara itu, dalam tugas yang berat, Pangeran Samodra mulai sering sakit karena lelah yang ber­kepanjangan. Beberapa punggawa yang menyertainya memberikan saran supaya Pangeran Samudro pulang ke Demak karena tugas sudah cukup berhasil. Pangeran Samodra pun menerima usul itu.
Ketika rombongan tiba di dukuh Barong, Pangeran Samodra jatuh sakit. la meminta kepada dua orang prajurit setia yang menyertainya agar melanjutkan perjalanan mereka ke Demak dan melaporkan semuanya kepada Raden Patah. Tidak lupa, salam hormat kepada Ibunda Ontrowulan.
Begitu dua prajurit berangkat, sakit sang Pangeran semakin parah. Dalam bayang-bayang, ajal sering mulai tampak berkelebat. Oleh karena itu, Pangeran Samodra berpesan, jika kelak Tuhan memanggilnya, ia minta agar dimakamkan di Bukit Kemukus yang terletak di sebelah barat tidak jauh dari dukuh Barong.
Alkisah, dua orang prajurit itu pun tiba di Kerajaan Demak. Ketika Ontrowulan mendengar bahwa putra tiri tunggalnya sakit, sedihlah hatinya. Kemudian, ia minta izin Raden Patah untuk berangkat ke dukuh Barong menemui putra terkasih.
Alangkah remuk redam hatinya tatkala ia tiba di tempat itu Pangeran Samodra telah meninggal, bahkan sedang dalam perjalanan untuk dimakamkan di Bukit Kemukus. Dengan pilu dan tersedu-sedu, Ontrowulan menyusul jenazah putranya ke Bukit Kemukus. Di kaki Bukit Kemukus, Ontrowulan melihat iringan itu mendaki. Tekadnya kuat untuk menyusul. Akan tetapi, sebelum naik ke bukit, ia merasa perlu membersihkan diri dengan mandi di telaga yang telah digunakan untuk memandikan jenazah sang putra. Merasa sudah cukup bersih, sang ibu tiri berangkat menyusul dan tiba tepat ketika jenazah Pangeran Samodra diturunkan ke liang lahat.
Berdesakan dengan pelayat yang lain, Ontrowulan melihat sang putra tercinta tergolek di dalam liang kubur. Tiba-tiba matanya berkunang-kunang dan secara mendadak degup jantungnya berhenti. la pun terjatuh ke dalam liang lahat itu.
Demikianlah, Pangeran Samodra dan ibu tirinya, Ontrowulan, dikebumikan di liang lahat yang sama. Oleh karena itu, penduduk sekitar sering membayangkan, dari makam itu memancar kesetiaan kuat akan tugas dan kecintaan mengharukan kepada putra.
Pada awalnya keadaan di lokasi Makam Pangeran Samudro sangatlah sepi dan jarang dijamah orang karena letaknya di tengah hutan belantara, serta banyak dihuni oleh binatang-binatang buas. Namun, sedikit demi sedikit keadaan berubah setelah daerah tersebut dihuni oleh para penduduk. Selanjutnya diterangkan bahwa di atas bukit tempat Pangeran Samudro dimakamkan, apabila menjelang musim hujan ataupun kemarau tampaklah kabut-kabut hitam seperti asap (kukus). Karena hal itulah, penduduk setempat menyebut bukit itu “Gunung Kemukus” sampai dengan saat ini. Demikianlah asal-usul Gunung Kemukus.
Namun, kisah ini controversial. Ada dua versi dan versi yang terkenal di masyarakat adalah versi yang kedua. Kisah yang kedua ini berawal dari kisah cinta terlarang antara Pangeran Samudro dengan ibu tirinya. Kisah cinta ini berjalan secara sembunyi-sembunyi.
Berawal dari Pangeran Samudro yang jatuh hati pada ibu tirinya, Dewi Ontrowulan yang cantik jelita nan seksi. Dewi Ontrowulan yang masih muda pun menerima cinta Pangeran Samudro. Mereka pun akhirnya menjalin kisah cinta. Kisah ini dilalui secara diam-diam dan setiap ada kesempatan, mereka selalu melampiaskan kegairahannya.
Suatu ketika, saat Pangeran Samudro dan Dewi Ontrowulan melakukan hubungan badan, Raja melihatnya. Raja sangat murka dan marah menjumpai pengkhianatan istri muda dan anak kandungnya itu. Raja pun mengusir Pangeran Samudro dan diasingkan ke Gunung Kemukus.
Setelah sekian lama terpisah dari Pangeran Samudro, Dewi Ontrowulan tidak bias menahan rasa rindunya. Akhirnya ia melarikan diri dari istana menuju ke Gunung Kemukus tempat di mana Pangeran Samudro diasingkan.
Malang nasib Dewi Ontrowulan karena setelah bersusah-payah melarikan diri dari istana menuju ke Gunung Kemukus ia malah menjumpai kenyataan pahit bahwa Pangeran Samudro telah meninggal dunia. Hatinya hancur berkeping-keping meratapi kenyataan pahit itu.
Setelah puas dengan ratapannya, Dewi Ontrowulan pun berkata,”Andaikan tanah makam ini bias terbuka, aku ingin dia menelan tubuhku agar aku bias bersama kekasihku.”
Ratapan Dewi Ontrowulan ini pun mendapat jawaban, terdengarlah suara ghaib dari bawah tanah yag menyuruh Dewi Ontrowulan untuk mensucikan dirinya terlebih dahulu sebelum ia disatukan dengan kekasih hatinya itu. Ia pun mensucikan dirinya di sebuah sendang atau mata air. Kemudian ia kembali ke gundukan makam Pangeran Samudro, dan terdengar lagi suara gaib itu. Dewi Ontrowulan ditelan oleh bumi, seiring berjalannya waktu saat Dewi Ontrowulan di telan bumi terdengarlah suara gaib,”Barangsiapa yang meneruskan kisah cintaku, maka apapun keinginanmu akan terwujud.”

B.     Sejarah Perkembangan Legenda Gunung Kemukus
Makam Pangeran Samudro di Gunung Kemukus, Sragen, Jawa Tengah, dianggap bertuah. Tiap hari makam ini didatangi banyak orang. Selain ziarah, bias digunakan untuk mengukur kekuatan jantung dengan menapaki anak tangga menuju makam.
Gunung Kemukus merupakan kompleks makam Pangeran Samudro dan ibu tirinya, Dewi Ontrowulan. Kompleks ini tepat berada di puncak bukit setinggi 300 meter di atas permukaan laut. Kawasan ini terdiri dari bangunan utama berbentuk rumah joglo dengan campuran dinding beton dan papan.
Ada tiga makam di dalamnya. Sebuah makam besar yang ditutupi kain kelambu putih merupakan makam Pangeran Samudro dan ibunya. Dua makam di sampingnya adalah dua abdi setia sang pangeran. Sementara itu, di sebelah bangunan utama terdapat bangsal besar yang diperuntukkan bagi peziarah sekadar untuk istirahat.
Sekitar 300 meter dari kompleks makam, di kaki bukit sebelah Timur, terdapat Sendang Ontrowulan. Sendang ini merupakan mata air yang digunakan Ontrowulan untuk menyucikan diri agar bisa bertemu putranya. Mata air itu tak pernah kering meski pada musim kemarau panjang sekalipun. Bagi yang percaya, air di sendang itu bisa membuat awet muda.
Kawasan itu pun dilindungi oleh rimbunnya pohon nagasari yang menjulang tinggi. Usia pohon nagasari terbilang tua. Konon, pohon-pohon itu tumbuh dari kembang-kembang hiasan rambut yang terlepas dari kepala Ontrowulan usai dia melakukan penyucian diri.
Kalau datangnya melewati pintu gerbang depan, harus menaiki 175 anak tangga sebelum sampai ke makam. Namun, bila memutar lewat pintu belakang, yaitu melewati Sendang Ontrowulan, harus melewati jalan berbatu yang mendaki sejauh sekitar satu km. Aktivitas jalan kaki itu membuat jantungberdenyut kencang sebelum sampai ke makam.
Sampai di teras makam, ada seorang juru kunci yang duduk di dekat perapian. Bau kemenyan merebak di sana. Setelah menyampaikan niat, sang juru kunci akan mendoakan dengan mantra yang tak jelas terdengar.
Setelah itu, peziarah masuk ke dalam bangunan utama. "Kita bisa menyampaikan semua niat dan keinginan. Asal dengan sungguh-sungguh, niscaya segala keinginan akan terkabul”.
Pada setiap malam Jumat Pon jumlah pengunjung membludak, mencapai ribuan orang. Puncak ziarah terjadi pada malam Jumat Pon atau Jumat Kliwon di bulan Suro atau Muharam. Pada malam itu biasanya peziarah mencapai belasan ribu orang. Kebanyakan pengunjung berasal dari Jawa Barat. Makam Pangeran Samudro diyakini memiliki tuah yang bisa mendatangkan berkah bagi mereka yang memohon dengan sungguh-sungguh. Sebut saja ingin sukses berdagang, mudah jodoh, atau karier cepat menanjak.
Sayangnya, objek ini tercemar oleh mitos-mitos sesat. Misalnya, niat seseorang akan terpenuhi asal dia harus berhubungan seks dengan laki-laki atau perempuan yang bukan suami atau istrinya secara berturut-turut sebanyak tujuh kali. Padahal, tidak ada dasar cukup kuat untuk membenarkan mitos ini.
Karena itu, kini pada hitungan 150 anak tangga menuju makam, Dinas Pariwisata Kabupaten Sragen memasang pengumuman melarang perbuatan asusila. Namun, begitulah seks, selalu mempunyai daya magnetis yang kuat. Apalagi banyak orang yang percaya akan kebenaran mitos. Terlepas dari itu, bila kita ingin menikmati pemandangan Bukit Kemukus dan sedikit berolahraga dengan menaiki anak tangga kemudian berziarah, maka akan mendapatkan kepuasan jasmani dan rohani.

C.    Fungsi Folklor bagi Masyarakat
Folklor Legenda Gunung Kemukus ini mempunyai banyak fungsi. Munculnya mitos-mitos bahwa siapa saja yang meneruskan hubungan kisah cinta Pangeran Samudro dengan ibu tirinya, Dewi Ontrowulan maka segala keinginan akan tercapai. Banyak masyarakat yang memanfaatkan hal ini untuk mencari rezeki atau yang sering disebut “ngalap berkah” dengan cara berziarah ke makam Pangeran Samudro dan Dewi Ontrowulan.
Selain digunakan untuk mencari pesugihan, makam Pangeran Samudro ini telah menjadi tempat wisata yang terkenal, sehingga bisa menambah penghasilan penduduk setempat karena banyak wisatawan dalam negeri maupun wisatawan asing yang datang berkunjung ke tempat itu.
Makam Pangeran Samudro juga sering didatangi oleh para mahasiswa untuk melakukan penelitian folklor maupun penelitian sejarah yang berkaitan tentang Pangeran Samudro.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa folklor Legenda Gunung Kemukus merupakan kisah cinta terlarang Pangeran Samudro dan Dewi Ontrowulan. Kisah cinta ini menimbulkan banyak mitos yang dipercaya oleh masyarakat sampai saat ini.
Sejarah perkembangan Legenda Gunung Kemukus sangat menarik untuk dipelajari. Mitos yang berkembang di Gunung Kemukus digunakan sebagai cara singkat untuk memperoleh kekayaan, jabatan, dan lain-lain. Hal ini dianggap menjadi solusi ekonomi yang susah, menjadi solusi singkat kemiskinan yang merebak.
Selain itu, Gunung Kemukus telah menjadi objek wisata budaya yang terkenal, bahkan banyak wisatawan asing dating hanya untuk melihat acara ritual pesugihan itu.



Nama               : Wita 
Pekerjaan         : Pedagang
Umur               : 33 tahun 
Alamat             : Gunung Sari, Pendem, Sumber Lawang, Sragen

http://kala-sastrabicara.blogspot.com/2012/08/legenda-gunung-kemukus.html


Dari mitos pelarian Pangeran Samudera dan Dewi Ontrowulan, mantan kekasih yang dinikahi ayahnya, seorang raja dari Demak, tradisi ‘menghalalkan’ hubungan intim di luar nikah itu terus berlangsung ratusan tahun. Itu karena pasangan ini kabur dan terbunuh bersama saat sedang bersenggama.

Kisah asmara mereka memang mirip-mirip kisah Panji. Pangeran Samudera yang ganteng, terpana asmara dengan Dewi Ontrowulan yang jelita. Mereka berkasih mesra. Namun sang ayah, Raja Demak, mendengar kabar keelokan sang putri itu justru meminang dan mengawininya.

Menjelang upacara perkawinan, Pangeran Samudera menculik kekasihnya itu. Dia membawa kabur Dewi Ontrowulan. Raja marah tak ketulungan. Dia memerintahkan pasukannya mengejar Pangeran Samudera yang notabene puteranya sendiri. Titahnya, kalau tidak bisa menangkap hidup-hidup, sang putera direlakan untuk dibunuh.

Syahdan, pelarian Pangeran Samudera tiba di sebuah bukit indah di daerah Sragen. Perbukitan yang sekarang menyerupai pulau akibat Waduk Kedung Ombo itu, berhentilah pasangan ini.

Bersama pengawal, Pangeran Samudera membuat padepokan. Berkat kewibawaan serta kearifannya dalam menerima rakyat yang eksodus akibat kesewenang-wenangan penguasa dari kerajaan sekitar, maka daerah ini berkembang dengan pesat.

Kemukus, begitu daerah ini diberi nama. Mengandung makna mengasap dan menyebarkan aroma mewangi. Itu sebagai tanda makmurnya hidup rakyat di daerah ini. Selain karena lokasinya yang mengerucut di puncak bukit, yang mirip bentuk kukusan, alat menanak nasi di pedesaan Jawa.

Ketika para ponggawa Demak yang melakukan perburuan mendengar kabar berdirinya wilayah baru yang maju, mereka bergerak untuk menelisik. Saat tahu sang penguasa adalah orang yang diburu, pasukan Demak menyusun rencana untuk menjalankan titah raja.

Ketika halimun masih menyelimuti perbukitan ini, dan penduduknya asyik berlindung di balik sarung, pasukan Demak menyusup ke dalam padepokan. Menaklukkan pengawal Pangeran Samudera, dan tanpa kesulitan masuk ke kamar sang pangeran.

Di peraduan, Pangeran Samudera sedang bercinta dengan Dewi Ontrowulan. Mereka bertelanjang, bertindihan, dan tak sadar bahaya sedang mengancam.

Saat nafsu masih berpacu, pasukan Demak merangsek. Dengan rasa geram mereka menancapkan tombak yang dibawa. Pangeran Samudera tak sempat melawan. Dua tubuh itu tertembus tombak. Lengket menyatu, dan bugil sambil berpelukan. Darah membanjiri Kemukus.

Dewi Ontrowulan tewas seketika. Sedang Pangeran Samudera, sebelum roh meninggalkan jasadnya sempat berujar, ‘anak turunku, sopo wae sing pengin kaleksanan karepe, tiruen lakuku’. Artinya : “Anak keturunanku, siapa saja, yang ingin terkabul keinginannya, tirulah apa yang aku lakukan”.

Ujaran itu kemudian diterjemahkan, jika ingin sukses dalam hidup harus melakukan ‘hubungan intim’ dengan pasangan yang tidak terikat tali perkawinan.

Itu karena Pangeran Samudera meniduri istri ayahnya, ibu tiri, kendati mantan kekasihnya. Tidak jelas, siapa penafsir ungkapan yang berbuah halalnya seks terlarang dan berlanjut sebagai tradisi itu.

Pasangan ‘selingkuhan’ itu dimakamkan di areal ini. Ontrowulan diabadikan sebagai nama sendang. Air sendang ini digunakan sebagai bagian dari syarat ‘ritus’.

 

Rata-rata yang ritual di tempat ini, habis mandi menemui juru kunci, menuturkan maksud kedatangannya sambil menyerahkan bunga.

Setelah itu, pasangan melengkapi ngalab berkahnya dengan ‘bobok mesra’. Itu yang membuat kawasan ini sekarang berubah menjadi lokalisasi pelacuran, karena makin jarang perempuan yang mau menyerahkan yoninya dimasuki lingga laki-laki yang bukan suaminya.


https://sawitplus.co/news/detail/6051/serat-suluk-gatolotjo-10--bukit-kemukus-halalnya-selingkuh




https://www.google.com/maps/place/Gunung+Kemukus/@-7.354695,110.8553419,10.75z/data=!4m5!3m4!1s0x2e7a094056d678c3:0x3c78733bd8e6de17!8m2!3d-7.3437417!4d110.8294106?hl=id


https://www.google.com/maps/dir/Terminal+Tirtonadi+Solo/Gunung+Kemukus,+Soko,+Kebayanan+II,+Pendem,+Kec.+Sumberlawang,+Kabupaten+Sragen,+Jawa+Tengah+57276/@-7.4492001,110.7975407,11z/data=!4m14!4m13!1m5!1m1!1s0x2e7a169760622ea5:0xb5faef2c3a8d844!2m2!1d110.8179348!2d-7.5510405!1m5!1m1!1s0x2e7a094056d678c3:0x3c78733bd8e6de17!2m2!1d110.8294106!2d-7.3437417!3e0?hl=id


  1. Melalui jalan raya Solo - Purwodadi 26,4 km
  2. Melalui Gilingan - Jl. Letjen Sutoyo - Wirun - Jl. Mayor Achmadi - Genengan - jalan raya Sambirejo - jalan raya Gemolong-Plupuh - Gemolong - jalan raya Gemolong - jalan raya Solo-Purwodadi 35,0 km
  3. Melalui Ring Road - jalan raya Solo-Ngawi - Masaran - jalan raya Masaran-Plupuh - jalan raya Sambirejo - jalan raya Gemolong-Plupuh - Gemolong - jalan raya Gemolong - jalan raya Solo-Purwodadi 42,2 km




Rabu, 18 Desember 2019

Serat Suluk Gatolotjo 9



Serat Gatholoco


Serat Suluk Gatolotjo 9


Paham ini tak dipungkiri berasal dari kepercayaan purba, animisme dan dinamisme. Kendati dalam perkembangan berikutnya terjadi akulturasi ke dalam paham Hindu dengan ‘agama Syiwa’nya, juga Buddha dengan ‘ajaran Tantra Bhairawa’ yang dianggap menyimpang. Namun demikian, setidaknya ini memberi penegasan, bahwa keyakinan macam itu ternyata tetap lestari.

Dalam kepercayaan Jawa Hindu dikenal adanya Nava Durga, yaitu sembilan dewi yang menyertai Dewa Siwa sebagai dewa tertinggi. Ini gambaran jagat raya dengan delapan penjuru angin plus porosnya, selain simbol kekuatan semesta.

Navadurga नवदुर्गा







Durga dipuja dalam berbagai bentuk. Dia adalah bentuk "Shakti". Evolusi Maha-Saraswati, Maha-Laksmi dan Maha-kali (3 bentuk utama "Shakti") terjadi dari Brahma,Wisnu dan Siwa. Masing-masing dari 3 dewa ini menghasilkan 3 bentuk lagi dan karenanya, 9 bentuk ini bersama-sama dikenal sebagai Nava-Durga.
Bagi umat Hindu, dewi Durga adalah simbol kekuasaan, dewa yang sangat istimewa, mampu muncul dalam sembilan bentuk atau wujud yang berbeda, masing-masing memiliki kekuatan dan sifat yang unik. 9 manifestasi ini disebut Navadurga (diterjemahkan sebagai "sembilan Durga").
Festival Navratri di India adalah perayaan sembilan malam Bunda Suci. Dewi Ibu bermanifestasi dalam berbagai bentuk. Dalam budaya Hindu, masing-masing dari sembilan malam dikaitkan dengan bentuk tertentu dari Dewi Ibu, Durga atau Shakti (Navdurga).
Navadurga (Devanagari: नवदुर्गा), yang secara harfiah berarti sembilan bentuk Dewi Durga, merupakan, menurut kitab suci Veda, manifestasi Durgā dalam 9 aspek yang berbeda.
Sembilan bentuk atau wujud manifestasi ini adalah Śhailaputrī, Brahmachāriṇī, Chandrakaṇṭā, Kuṣhmāṇḍā, Skandamātā, Kātyāyanī, Kālarātrī, Mahāgaurī dan Siddhidātrī.
Setiap dewi memiliki bentuk yang berbeda dan makna khusus. Nava Durgā, jika disembah dengan semangat keagamaan selama Navaratri, diyakini, untuk memberikan pemenuhan spiritual.
Berikut adalah rincian dari 9 wujud manifestasi Dewi Durga. Setiap dewi memiliki bentuk yang berbeda dan makna khusus. Nava Durga, jika dipuja dengan semangat keagamaan selama Navaratri, diyakini, mengangkat roh ilahi di dalam kita dan mengisi kita dengan kebahagiaan yang diperbarui:


    1. Shailaputri शैलपुत्री

Navaratri dimulai dengan malam pemujaan dan perayaan untuk menghormati Shaliaputri, yang namanya berarti "putri gunung". Juga dikenal sebagai Sati Bhavani, Parvati, atau Hemavati, dia adalah putri dari Hemavana, raja Himalaya.
Shaliaputri dianggap sebagai perwujudan paling murni dari Durga dan ibu alam. Dalam ikonografi, ia digambarkan mengendarai banteng dan memegang trisula dan bunga teratai.

Teratai mewakili kemurnian dan pengabdian, sementara garpu pada trisula mewakili masa lalu, sekarang, dan masa depan.
Devi Shailaputri terhubung dengan chakra Muladhara (pangkal tulang belakang) dan terkait dengan unsur bumi. Dia digambarkan secara mitos sebagai memegang trisula dan bunga teratai.


        Mantra: 

        या देवी सर्वभूतेषु प्रकृति रूपेण संस्थिता,

        नमस्तस्यै नमस्तस्यै नमस्तस्यै नमो नमः।|

         Ya Devi Sarvabhuteshu Prakriti Rupena Samsthita।

         Namastasyai Namastasyai Namastasyai Namo Namah॥


    2. Bharmacharini ब्रह्मचारिणी

Ini adalah aspek kedua dari Durga atau Parwati sebagai pertapa yang melakukan pertapaan serius (tapa) untuk mencapai Siwa. Makna yoga adalah energi yang bergerak dalam keseluruhan Tak Terbatas, di Brahman.

Pada hari kedua Navaratri, umat Hindu menyembah Bharmachaarini, yang namanya berarti "orang yang mempraktekkan kesengsaraan yang taat." Dia menerangi kita dalam perwujudan Durga yang luar biasa dengan kekuatan besar dan rahmat ilahi.

Bharmachaarini memegang rosario di tangan kanannya, mewakili doa-doa Hindu khusus yang dibacakan untuk menghormatinya, dan alat air di tangan kirinya, melambangkan kebahagiaan perkawinan.

Umat Hindu percaya bahwa dia menganugerahi kebahagiaan, kedamaian, kemakmuran, dan anugerah bagi semua penyembah yang memujanya. Dia adalah jalan menuju emansipasi, yang disebut Moksha.

        Mantra :

        या देवी सर्वभूतेषु सृष्टि रूपेण संस्थिता,

         नमस्तस्यै नमस्तस्यै नमस्तस्यै नमो नमः।|

         Ya Devi Sarvabhuteshu Srishthi Rupena Samsthita।

        Namastasyai Namastasyai Namastasyai Namo Namah॥

    3. Chandraghanta चंद्रघंटा


Chandraghanta adalah manifestasi ketiga dari Durga, mewakili perdamaian, ketenangan, dan kemakmuran dalam hidup. Namanya berasal dari chandra (setengah bulan) di dahinya dalam bentuk ghanta (bel).

Bulan menandakan pikiran karena mood dan emosi pikiran yang berbeda seperti fase bulan yang berbeda. Lonceng bulan menandakan menarik bersama kecenderungan pikiran yang bimbang pada bunyi lonceng dan membuat pikiran satu titik (bel hanya memiliki satu suara) untuk bermeditasi.

Chandraghanta menawan, memiliki kulit yang cerah keemasan, dan mengendarai seekor singa. Seperti Durga, Chandraghanta memiliki beberapa anggota badan, biasanya 10, masing-masing memegang senjata, dan tiga mata. Dia serba bisa dan selalu waspada, siap bertempur melawan kejahatan dari arah mana pun.


        Mantra:

        ॐ देवी चन्द्रघण्टायै नमः॥

         Om Devi Chandraghantayai Namah॥

        -dan-

         या देवी सर्वभू‍तेषु माँ चन्द्रघण्टा रूपेण संस्थिता,

        नमस्तस्यै नमस्तस्यै नमस्तस्यै नमो नमः॥

        Ya Devi Sarvabhuteshu Maa Chandraghanta Rupena Samsthita।

        Namastasyai Namastasyai Namastasyai Namo Namah॥

    4. Kushmanda कूष्माण्डा


Kushmanda adalah bentuk keempat dari dewi Durga, dan namanya berarti "pencipta alam semesta," karena dia adalah orang yang membawa cahaya ke kosmos gelap.

Menurut mitologi, Devi Kushmanda menciptakan Mahakali (dari mata kiri), Mahalakshmi (mata ketiga) dan Mahasaraswati (mata kanan).

Dia kadang-kadang disebut sebagai Dewi yang tersenyum. Dia dikaitkan dengan chakra Anahata dan unsur udara. Dia digambarkan dengan 8-10 tangan, menunggang seekor harimau.

Seperti manifestasi lain dari Durga, Kushmanda memiliki beberapa anggota badan (biasanya delapan atau 10), di mana dia memegang senjata, glitter, rosario, dan benda suci lainnya.

Glitter sangat penting karena melambangkan cahaya berkilau yang dia bawa ke dunia. Kushmanda mengendarai seekor singa, melambangkan kekuatan dan keberanian dalam menghadapi kesulitan.


            Mantra:

            ॐ देवी कूष्माण्डायै नमः॥

            Om Devi Kushmandayai Namah॥

            -dan-

            या देवी सर्वभूतेषु तुष्टि रूपेण संस्थिता,

            नमस्तस्यै नमस्तस्यै नमस्तस्यै नमो नमः।|

            Ya Devi Sarvabhuteshu Tushti Rupena Samsthita।

            Namastasyai Namastasyai Namastasyai Namo Namah॥

        5. Skanda Mata स्कंदमाता


Skanda Mata adalah ibu dari Skanda atau Dewa Kartikeya, yang dipilih oleh para dewa sebagai panglima tertinggi mereka dalam perang melawan iblis. Dia dipuja pada hari kelima Navaratri.

Skanda Mata dikaitkan dengan chakra Vishuddhi dan elemen ruang. Dia digambarkan dengan empat lengan dan mengendarai seekor singa. Dia duduk di atas bunga lotus karena itu dia juga disebut Dewi Padmasana.

Menekankan sifatnya yang murni dan ilahi, Skanda Mata duduk di atas teratai, dengan empat lengan dan tiga mata. Dia memegang bayi Skanda di lengan kanan atas dan lotus di tangan kanannya, yang sedikit terangkat ke atas. Dengan tangan kirinya, dia memberi berkat kepada umat Hindu, dan dia memegang teratai kedua di tangan kirinya.


            Mantra:

            ॐ देवी स्कन्दमातायै नमः॥

             Om Devi Skandamatayai Namah॥

            -dan-

            या देवी सर्वभूतेषु मातृ रूपेण संस्थिता,

            नमस्तस्यै नमस्तस्यै नमस्तस्यै नमो नमः।

            Ya Devi Sarvabhuteshu Maatr Rupena Samsthita।

            Namastasyai Namastasyai Namastasyai Namo Namah॥

        6. Katyayani कात्यायिनी


Dalam mitologi, Devi Katyayani dipanggil untuk menghancurkan iblis Mahishasura. Dia dikaitkan dengan chakra Ajna dan berkatnya dapat dilakukan dengan berkonsentrasi pada titik ini.

Katyayani dipuja pada hari keenam Navaratri. Seperti Kaal Ratri, yang disembah pada malam berikutnya, Katyayani adalah pemandangan yang menakutkan, dengan rambut liar dan 18 lengan, masing-masing memegang senjata.

Terlahir dalam kemarahan dan kemarahan ilahi, dia memancarkan cahaya berseri-seri dari tubuhnya yang tidak bisa disembunyikan oleh kegelapan dan kejahatan.

Meskipun penampilannya, umat Hindu percaya bahwa dia dapat memberikan rasa damai yang tenang dan batin pada semua orang yang menyembahnya. Seperti Kushmanda, Katyayani mengendarai seekor singa, siap setiap saat untuk menghadapi kejahatan.

            Mantra:

            ॐ देवी कात्यायन्यै नमः॥

            Om Devi Katyayanyai Namah॥

            -dan-

            या देवी सर्वभूतेषु स्मृति रूपेण संस्थिता,

            नमस्तस्यै नमस्तस्यै नमस्तस्यै नमो नमः।

            Ya Devi Sarvabhuteshu Smriti Rupena Samsthita।

            Namastasyai Namastasyai Namastasyai Namo Namah॥

        7. Kala Ratri (sometimes spelled Kaalratri) कालरात्रि


Kaala artinya gelap dan juga berarti waktu. Ini adalah bentuk Shakti yang paling ganas dan paling merusak yang menghancurkan iblis Shumbha (ego), Nishumbha (keterikatan) (representasi batin menjadi 'aku' dan 'milikku') dan Raktbeej (mewakili sifat pikiran yang terus bertambah).

Devi Kalratri menghancurkan semua kejahatan dan ketakutan. Dia dikaitkan dengan chakra Sahasrara (mahkota). Dia juga dikenal sebagai Shubhamkari atau orang yang melakukan kebaikan dengan membebaskan para pengikutnya dari kegelapan dan ketakutan. Dia digambarkan sebagai gelap, dengan rambut acak-acakan, empat tangan dan menunggang keledai.

Kaal Ratri juga dikenal sebagai Shubhamkari, namanya berarti "orang yang berbuat baik." Dia adalah dewa yang tampak menakutkan, dengan kulit gelap, rambut acak-acakan, empat lengan, dan tiga mata. Masalah petir dari kalung yang dia pakai dan api menembak dari mulutnya.

Seperti Kali, dewi yang menghancurkan kejahatan, Kaal Ratri memiliki kulit hitam dan dipuja sebagai pelindung umat Hindu, yang harus dihormati dan ditakuti. Di tangan kirinya, dia memegang vajra, atau klub berduri, dan pisau belati, keduanya digunakan untuk melawan kekuatan jahat.

Tangan kanannya, sementara itu, mengisyaratkan kepada yang setia, menawarkan mereka perlindungan dari kegelapan dan menghilangkan semua ketakutan.


            Mantra:

            ॐ देवी कालरात्र्यै नमः॥

            Om Devi Kalaratryai Namah॥

            – dan –

            ॐ ऐं ह्रीं क्लीं चामुण्डायै  विच्चै

            Om Aim Hreem Kleem Chamundaye Vichhe

        8. Maha Gauri महागौरी

Suatu bentuk Dewi Parwati yang bercahaya setelah dicuci oleh Siwa setelah pertapaannya yang keras. Dia adalah lambang keindahan dan digambarkan sebagai berkulit putih, memiliki empat lengan dan mengendarai banteng. Dia mewakili kedamaian dan ketenangan dan memenuhi semua keinginan.

Maha Gauri dipuja pada hari kedelapan Navaratri. Namanya, yang berarti "sangat putih," mengacu pada kecantikannya yang bercahaya, yang memancar dari tubuhnya.

Umat Hindu percaya bahwa dengan memberi penghormatan kepada Maha Gauri, semua dosa masa lalu, sekarang, dan masa depan akan tersapu bersih, memberikan rasa damai batin yang mendalam.

Dia mengenakan pakaian putih, memiliki empat lengan, dan mengendarai seekor lembu jantan, salah satu hewan paling suci dalam agama Hindu.

Tangan kanannya berada dalam pose yang meredakan rasa takut, dan tangan kanan bawahnya memegang trisula. Tangan kiri atas memegang damaru (tamborin kecil atau gendang) sementara yang lebih rendah dianggap memberikan berkah kepada pengikutnya.


                Mantra:

                ॐ देवी महागौर्यै नमः॥

                Om Devi Mahagauryai Namah॥

        9. Siddhidatri सिद्धिदात्री


Siddhidatri adalah bentuk terakhir dari Durga, dirayakan pada malam terakhir Navaratri. Namanya berarti "pemberi kekuatan supernatural," dan umat Hindu percaya dia menganugerahkan berkah atas semua dewa dan pemuja iman.

Sang Dewi muncul dari setengah kiri Dewa Siwa dalam representasi sebagai Ardhanareeshwara. Dia digambarkan duduk di atas teratai dan memiliki empat lengan.

Siddhidatri memberikan kebijaksanaan dan wawasan bagi mereka yang memohon padanya, dan umat Hindu percaya bahwa dia dapat melakukan hal yang sama untuk dewa yang menyembahnya juga.

Seperti beberapa manifestasi lain Durga, Siddhidatri mengendarai seekor singa. Dia memiliki empat anggota badan dan membawa trisula, cakram berputar yang disebut Sudarshana Chakra, cangkang keong, dan bunga teratai.

Keong, yang disebut shankha, mewakili umur panjang, sementara cakram berputar melambangkan jiwa atau waktu.


                Mantra:

                ॐ देवी सिद्धिदात्र्यै नमः॥

                Om Devi Siddhidatryai Namah॥

                – dan –

                या देवी सर्वभूतेषु लक्ष्मी रूपेण  संस्थिता,

                नमस्तस्यै नमस्तस्यै नमस्तस्यै नमो नमः||

                Ya Devi Sarvabhuteshu Lakshmi Rupena Samsthita।

                Namastasyai Namastasyai Namastasyai Namo Namah॥

        https://wrhphilosophers.blogspot.com/2018/07/wujud-dewi-durga-parwati.html


Dalam melukiskan ‘kekuatan Siwa’, dewa yang dianggap paling hebat itu, dalam perwujudan yang berbeda-beda sosok sang dewa dilukiskan sedang makan sambil bersenggama. Dia menyenggamai sembilan dewi yang selalu bersamanya.

Dalam keyakinan ini, persetubuhan itu tidak dimaknai sebagai pelampiasan nafsu birahi. Ini dipercayai sebagai ‘jalan’ menuju mahasukha. Sebuah area kebahagiaan agung, puncak maha tinggi dari hakekat kebenaran para dewata di Jonggring Saloko.


Mahāsukha (महासुख)
1) great pleasure.
2) copulation.


Shri Hanuman Chalisa श्री हनुमान चालिसा



श्री हनुमान चालिसा


॥दोहा॥

श्री गुरु चरन सरोज रज निज मनु मुकुरू सुधारि।
बरनउँ रघुबर बिमल जसु जो दायक फल चारि॥

बुद्धिहीन तनु जानिके सुमिरौं पवनकुमार।
बल बुद्धि विद्या देहि मोहिं हरहु कलेस बिकार॥

॥ चौपाई ॥

जय हनुमान ज्ञान गुन सागर ।
 जय कपीस तिहुँ लोक उजागर  ॥ १॥

राम दूत अतुलित बल धामा ।
अंजनिपुत्र पवनसुत नामा॥२॥

महावीर बिक्रम बजरंगी ।
कुमति निवारि सुमति के संगी ॥३॥

कंचन बरन बीराज सुबेसा ।
कानन कुण्डल कुंचित केसा॥ ४॥

हाथ बज्र औ ध्वजा बिराजै।
 कान्हे मूँज जनेऊ साजै ॥ ५॥

संकर सुवन केसरी नन्दन।
तेज प्रताप महा जग बंदन। ६॥

विद्यावान गुणी अति चातुर।
राम काज करिबे कंह आतुर॥ ७॥

प्रभु चरित सुनिबे को रसिया।
राम लखन सीत मन बसिया॥ ८॥

सूक्ष्म रूप धरि सिंयहि दिखावा।
विकट रूप धरि लंक जरावा॥ ९॥

भीम रूप धरि असुर संहारे ।
रामचन्द्र के काज सँवारे॥ १०॥

लाय संजीवन लखन जियाए।
श्री रघुबीर हरषि उर लाये॥ ११॥

रघुपति कीन्ही बहुत बडाई।
तुम मम प्रिय भरतहि सम भाई॥ १२॥

सहस बदन तुम्हरो जस गावैं।
अस कहि श्रीपति कण्ठ लगावैं॥१३॥

सनकादिक ब्रह्मान्दि मुनिसा।
नारद सारद सहित अहीसा॥ १४॥

जम कुबेर दिगपाल जहां ते।
 कवि कोबिद कहि सके कहाँ ते  ॥ १५॥

तुम उपकार सुग्रीवहिं कीन्हा।
राम मिलाय राजपद दीन्हा॥ १६ ॥

तुम्हरो मन्त्र विभीषण माना।
लंकेश्वर भय सब जग जाना॥ १७॥

जुग सहस्त्र योजन पर भानु।
लील्यो ताहि मधुर फल जानु॥ १८॥

प्रभु मुद्रिक मेलि मुख माहिं।
जलधि लाँघि गये अचरज नाहिं॥ १९॥

दुर्गम काज जगत के जेते।
सुगम अनुग्रह तुम्हरे तेते॥२०॥

राम दुआरे तुम रखवारे।
होत न आज्ञा बिन पैसारे ॥ २१॥

सब सुख लहै तुम्हारी सरना।
तुम रच्छक काहु को डरना ॥ २२॥

आपन तेज सम्हारो आपै।
तीनौ लोक हांकतै कांपै॥ २३ ॥

भूत पिशाच निकट नहिं आवैं।
महावीर जब नाम सुनावैं ॥ २४॥

नासै रोग हरै सब पीरा।
जपत निरन्तर हनुमत बीरा ॥ २५॥

संकट ते हनुमान छुड़ावैं।
मन क्रम बचन ध्यान जो लावै। २६॥

सब पर राम तपस्वी राजा।
तिन के काज सकल तुम साजा । २७॥

और मनोरथ जो कोई लावै।
सोई अमित जीवन फल पावै ॥ २८॥

चारों युग परताप तुम्हारा।
है परसिद्ध जगत उजियारा ॥  २९ ॥

साधु संत के तुम रखवारे।
असुर निकन्दन राम दुआरे॥ ३०॥

अष्ट सिद्धि नौ निधि के दाता ।
अस वर दीन जानकी माता ॥  ३१ ॥

राम रसायन तुम्हरे पासा।
सदा रहौ रघुपति के दासा॥ ३२ ॥

तुम्हरे भजन राम को पावै ।
जनम जनम के दुख बिसरावै ॥ ३३ ।

अंत काल रघुबर पुर जाई।
जहाँ जन्म हरिभक्त कहाई ॥ ३४॥

और देवता चित्त न धरई।
हनुमत सेई सर्व सुख करई॥ ३५॥

संकट कटै मिटै  सब पीरा।
जो सुमिरै हनुमत बल बीरा ॥  ३६॥

जै जै जै हनुमान गोसांई।
कृपा करहु गुरुदेव कि नाईं ॥ ३७ ॥

जो सत बार पाठ करि कोई।
छूटहि बन्दि महासुख होई॥ ३८॥

जो यह पढै हनुमान चलीसा।
होय सिद्धि साखी गौरीसा ॥ ३९ ॥

तुलसीदास सदा हरि चेरा ।
कीजै नाथ हृदय मँह डेरा ॥  ४० ॥

॥ चौपाई ॥

पवनतनय संकट हरन मंगल मूरति रूप।
राम लखन सीत सहित हृदय बसहु सुर भूप॥

जय श्री राम


śrī hanumāna cālisā


||dohā||

śrī guru carana saroja raja nija manu mukurū sudhāri |
baranau raghubara bimala jasu jo dāyaka phala cāri ||


buddhihīna tanu jānike sumirauṁ pavanakumāra |
bala buddhi vidyā dehi mohiṁ harahu kalesa bikāra ||

|| caupāī ||
jaya hanumāna jñāna guna sāgara |
jaya kapīsa tihu loka ujāgara || 1 ||

rāma dūta atulita bala dhāmā |
aṁjaniputra pavanasuta nāmā ||2||

mahāvīra bikrama bajaraṁgī |
kumati nivāri sumati ke saṁgī ||3||

kaṁcana barana bīrāja subesā |
kānana kuṇḍala kuṁcita kesā || 4||

hātha bajra au dhvajā birājai |
kānhe mūja janeū sājai || 5 ||

saṁkara suvana kesarī nandana |
teja pratāpa mahā jaga baṁdana | 6||

vidyāvāna guṇī ati cātura |
rāma kāja karibe kaṁha ātura || 7 ||

prabhu carita sunibe ko rasiyā|
rāma lakhana sīta mana basiyā || 8 ||

sūkṣma rūpa dhari siṁyahi dikhāvā |
vikaṭa rūpa dhari laṁka jarāvā || 9 ||

bhīma rūpa dhari asura saṁhāre |
rāmacandra ke kāja savāre || 10 ||

lāya saṁjīvana lakhana jiyāe |
śrī raghubīra haraṣi ura lāye || 11 ||

raghupati kīnhī bahuta baḍāī |
tuma mama priya bharatahi sama bhāī || 12 ||

sahasa badana tumharo jasa gāvaiṁ |
asa kahi śrīpati kaṇṭha lagāvaiṁ ||13||

sanakādika brahmāndi munisā|
nārada sārada sahita ahīsā || 14 ||

jama kubera digapāla jahāṁ te |
kavi kobida kahi sake kahā te || 15 ||

tuma upakāra sugrīvahiṁ kīnhā |
rāma milāya rājapada dīnhā || 16 ||

tumharo mantra vibhīṣaṇa mānā |
laṁkeśvara bhaya saba jaga jānā || 17 ||

juga sahastra yojana para bhānu |
līlyo tāhi madhura phala jānu || 18 ||

prabhu mudrika meli mukha māhiṁ |
jaladhi lāghi gaye acaraja nāhiṁ || 19 ||

durgama kāja jagata ke jete |
sugama anugraha tumhare tete ||20||

rāma duāre tuma rakhavāre |
hota na ājñā bina paisāre || 21 ||

saba sukha lahai tumhārī saranā |
tuma racchaka kāhu ko ḍaranā || 22 ||

āpana teja samhāro āpai |
tīnau loka hāṁkatai kāṁpai || 23 ||

bhūta piśāca nikaṭa nahiṁ āvaiṁ |
mahāvīra jaba nāma sunāvaiṁ || 24 ||

nāsai roga harai saba pīrā |
japata nirantara hanumata bīrā || 25 ||

saṁkaṭa te hanumāna chuṛāvaiṁ |
mana krama bacana dhyāna jo lāvai | 26 ||

saba para rāma tapasvī rājā |
tina ke kāja sakala tuma sājā | 27 ||

aura manoratha jo koī lāvai |
soī amita jīvana phala pāvai || 28 ||

cāroṁ yuga paratāpa tumhārā |
hai parasiddha jagata ujiyārā || 29 ||

sādhu saṁta ke tuma rakhavāre |
asura nikandana rāma duāre || 30 ||

aṣṭa siddhi nau nidhi ke dātā |
asa vara dīna jānakī mātā || 31 ||

rāma rasāyana tumhare pāsā |
sadā rahau raghupati ke dāsā || 32 ||

tumhare bhajana rāma ko pāvai |
janama janama ke dukha bisarāvai || 33 |

aṁta kāla raghubara pura jāī |
jahā janma haribhakta kahāī || 34 ||

aura devatā citta na dharaī |
hanumata seī sarva sukha karaī || 35||

saṁkaṭa kaṭai miṭai saba pīrā |
jo sumirai hanumata bala bīrā || 36 ||

jai jai jai hanumāna gosāṁī |
kṛpā karahu gurudeva ki nāīṁ || 37 ||

jo sata bāra pāṭha kari koī |
chūṭahi bandi mahāsukha hoī || 38||

jo yaha paḍhai hanumāna calīsā |
hoya siddhi sākhī gaurīsā || 39 ||

tulasīdāsa sadā hari cerā |
kījai nātha hṛdaya maha ḍerā || 40 ||

|| caupāī ||

pavanatanaya saṁkaṭa harana maṁgala mūrati rūpa |
rāma lakhana sīta sahita hṛdaya basahu sura bhūpa ||

jaya śrī rāma
http://namogopijanavallabhabhyam.blogspot.com/2011/01/shri-hanuman-chalisa.html


Sedang bagi kodrat manusia, ‘pelepasan nafsu’ itu untuk membuang anasir negatif dalam tubuh agar mampu ‘menguasai’ ilmu para dewa.

Secara esensial Nava Durga hampir mirip dengan tampilan Bathara Kresna dalam pewayangan. Penjelmaan Bathara Wisnu itu setiap geraknya selalu ditemani para gopi.

Dia adalah sekumpulan gadis cantik yang melayani segala kebutuhan pemilik Panah Cakra itu. Dari kebutuhan yang bersifat kebendaan hingga kebutuhan biologis.

Di Jawa, paham seperti ini dipraktekkan Kertanagara, raja Singosari terakhir (1268-1292). Dalam Pararaton disebut, sang raja untuk menuju ‘mokswa’ melakukan ritus mengumbar nafsunya.

Meminum minuman keras sampai kelewat mabuk, melakukan hubungan seks hingga tak bergairah lagi, dan menyantap makanan sebanyak-banyaknya sampai kehilangan selera dan tak punya keinginan memakan penganan apa saja.

Sedang Raja Brawijaya IV dari Majapahit melakukan penyucian diri di Candi Sukuh, area yang terkesan ‘jorok’ itu. Sang raja mensucikan diri, bersamadi, topobroto, mendekatkan diri dengan ‘kedewataan’ di antara patung dan relief porno itu. Ini dilakukan sang raja sampai akhir hayat.

Memang banyak yang berkeyakinan raja ini ‘berpindah’ ke alam lain secara mistik di Alang-alang Kumitir (Candi Cetho) lereng Gunung Lawu. Juga ada yang percaya sang raja ‘mokswa’ di Kawasan Trowulan. Tetapi catatan sejarah menyebut sang raja mangkat normal, jasadnya dikremasi dan abunya ditanam di Candi Brahu, Mojokerto.


Candi Brahu merupakan salah satu candi 
yang terletak di dalam kawasan situs arkeologi Trowulan, 
bekas ibu kota Majapahit. 
Tepatnya, candi ini berada di Dukuh Jambu Mente, 
Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, 
atau sekitar dua kilometer ke arah utara 
dari jalan raya Mojokerto—Jombang.

https://sawitplus.co/news/detail/6040/serat-suluk-gatolotjo-9--persenggamaan-bukan-untuk-pembebasan-birahi