KUNCUNG-BAWUK, SAPAAN LAMA ANAK-ANAK JAWA
Ketika sahabat keturunan Jawa-Suriname
yang kini tinggal di Nederland, yaitu Kaboel Karso dan Tine Moestar,
singgah di Malang pada akhir Agustus 2015 lalu, ada hal kecil yang
membuat ku terkejut. Kepada anak kecilku, Jnaneswari (Anes), Tine
Moestar menyapanya dengan “wuk”. Sedangkan saya sendiri menyapanya
dengan “nduk”, sebab sapaan “wuk” kini tidak lagi lazim digunakan di
Jawa.
Demi mendengar sapaan itu, saya pun
bergegas tanya: apakah di lingkungan keturunan Jawa-Suriname sapaan
‘wuk’ untuk anak perempuan masih biasa digunakan?”. Jawabnya singkat
“masih”. Saya lanjut bertanya: tahukah anda apa kepanjangan dari suku
kata “wuk’ dan apakah artinya? Jawabnya: tidak.
Sapaan “wuk” merupakan akronimisasi untuk
kata “bawuk”, yang konon di Jawa biasa dipergunakan untuk menyapa anak
perempuan. Sedangkan untuk anak laki-laki terdapat sapaan lain, yaitu
“kuncung” atau acap diakronimkan “cung” — pada dialek sub-etnik Madura
menjadi “cong”, sehingga varian penyebutannya adalah “kacung” atau
“kacong”. Sapaan “bawuk-kuncung” ini pernah familier, yang lantas
digantikan oleh sebutan “genduk” atau “nduk” dan “thole” atau “le”.
bawuk
beschimmeld (berjamur)
warna sêmu biru utawa klawu rêgêd; pawadonan
dark gray; [of clothing] faded, worn; of endearment applied to little girls.
kuncung
1 rambut (saèm. jambul) ing dhuwur bathuk;
2 ak. isih nganggo kuncung (tmr. bocah cilik);
3 pojoking ikêt kang nyongat ing sadhuwuring bathuk;
4 omah cilik sangarêping pêndhapa;
wiwit kuncung nganti gêlung
wiwit cilik nganti gêdhe; ngunjung
kuncungan
nganggo kuncung
dikuncungi
1 didokoki kuncung
2 wis mati.
gênduk
sebutan atau panggilan kepada anak perempuan
tholé
panyêluk marang bocah lanang
kaki, kulup; [mênthele]: ardawalepa
manthélé
ardawalepa, tumampik, sêmu nampik, amangsulakên ujar
kurang ajar
impudent, impertinent
Kata “bawuk” adalah istilah dalam bahasa
Jawa Baru, yang secara harafiah berarti: warna kelabu kotor. Dalam
bahasa Jawa Kuna terdapat istlah “wuk”, yang salah satu alternasi
artinya adalah: cairan yang berbau busuk. Istilah “wukan” malahan
menunjuk pada telur busuk. Acapkali terjadi konsonan “b” bertukar dengan
“w”, sehingga sebutan “bawuk” bisa bertukar sebutan menjadi “wawuk”.
Istilah itu kadang digunakan untuk
menyebut kemaluan wanita (vulva). Misalnya, bila posisi duduk dari anak
perempuan sembarangan, maka bisa menyebabkan kemaluannya kelihatan, dan
dikatakan dengan “wawuke ketok (wawuk-nya kelihatan)”. Pengartian
demikian juga tergambar pada sebutan Sumo “Bawuk” kepada pelaku ajaran
sesat di Kediri beberapa tahun lalu, yang melakukan banyak tindakan
perkosaan terhadap para wanita.
Dalam arti diatas, apa yang berwarna
kelabu kotor dan berbau tidak enak (busuk) itu diasosiasikan dengan
vulva. Oleh karena itu dapatlah difahami bila terdapat perkataan “yek ….
wawuke mambu (hi … wawuk-nya bau)”, suatu sebutan yang menunjuk pada
vulva yang terkena penyakit keputihan.
Adapun kata “kuncung” digunakan untuk
menyebut: rambut yang menyerupai jambul di atas dahi. Model cukuran
rambut demikian acap dikenakan pada anak laki-laki. Bahkan, pria dewasa
pun — utamanya tentara — kini kadang bercukur kuncung. Ujung kuncung
melancip ke depan. Atau terkadang disisir ke arah atas, menyerupai
“kucung Semar”. Model sisiran rambut demikian kini tengah trend. Namun
bukan untuk anak laki-laki, melainkan justru pada pria dewasa.
Dalam bahasa Jawa Kuna juga terdapat kata “cung”, seperti.pada
akronim untuk “kuncung” atau “kacung”. Kata “cung” adalah sebutan unuk
sejenis terung. Salah satu jenis terung dengan bentuk bulat kecil dan
memanjang dalam bahasa Jawa Baru dinamai “terong kopek”. Pada suatu
syair lagu dinyatakan bahwa “terong kopek jare lanang (terong kopek
dikatakan laki-laki)”.. Dinyatakan demikian lantaran bentuknya
menyerupai kemaluan pria (phallus). Hal lain yang menarik, akhir-akhir
ini terdapat sebuah lagu dangdut berjudul “Terong-terongan”, yang
mengasosiasikan sebutan ini pada phallus. Dengan demikian, sebutan
“kuncung dan “kacung” atau akronim darinya menjadi “cung” ataun”cong”
acap dilekatkan pada anak laki-laki.
Dahulu pernah pula terdapat julukan
“kacung kampret” untuk menyebut anak laki-laki kurus (ngampret).
Terkadang pula kata “kacung” digunakan untuk menyebut pesuruh pria —
berusia anak-anak hingga remaja. Sebutan demikian dikonotasikan rendah
bagi orang yang disebutkan.
Sebagaimnana halnya pada “kuncung” , yang
digunakan untuk meyebut suatu model cukuran rambut anak laki-laki,
sebutan “bawuk” pun juga digunakan untuk menyebut cukuran rambut untuk
anak perempuan. Pada model cukuran bawuk, rambut yang disisakan atau
tidak dicukur lebih banyak dan lebih tebal jika dibandingkan kuncung,
dan ujungnya tidak melancip. Model cukuran ini juga dinamai “gombak”,
yang mengingatkan pada rambut lebat pada vulva. Model cukur gombak atau
bawuk seperti ini pada beberapa dasawarsa lalu banyak dikenakan pada
anak-anak perempuan.
Pada relief Hariti di Candi Mendut,
anak-anak pria asuhan Dewi Kesuburan Anak ini digambarkan dengan model
rambut kuncung. Demikian pula pada relief di kaki candi sisi selatan
Candi Jawi. Serupa itu juga terdapat pada patung anak pria yang dituntun
oleh Men Brayut pada seni arca di Bali.
Menilik model cukuran yang demikian,
tergambar bahwa cukuran rambut dengan memotong habis sebagian besar
rambut di batok kepala telah dikenal pada masa Hindu-Buddha. Bahkan,
pada sejumlah relief dan arca dijumpai gambaran pria berkepala plontos
(gundul). Misalnya pada arca Buddha “gundul” Mahaksobhya atau Jokodolog
di Taman Simpang (Taman Hapsari) Surabaya dan arca serupa yang lebih
kecil koleksi Museum Pu Purwa di Kota Malang. Oleh karena itu, cukup
alasan untuk mengatakan bahwa perangkat pencukur rambut, setidaknya yang
berupa pisau cukur, telah dikenal pada masa itu.
Pada relief di Candi Jawi tersebut model
rambut untuk anak perempuan tidak berbentuk gombak atau bawuk, melainkan
diikat sebuah di belakang batok kepala. Nampaknya, model cukuran gombak
(bawuk) pada anak perempuan baru berkembang pada masa yang lebih muda.
Pada masa sekarang model cukuran rambut gombak atau bawuk tengah tren.
Hanya saja, uniknya tidak dikenakan pada anak perempuan, melainkan
justru pada pria dewasa, yang terkadang dengan arah sisiran rambut ke
atas seperti pada cara bersisir “kuncung Semar”.
Kini telah jarang ditemui anak laki
bercukur kuncung dan anak perempuan bercukur gombak atau bawuk. Begitu
pula, sebutan “kacung” telah digantikan oleh “thole” atau cukup disebut
“le” — akronim dari “konthol-e”, suatu istilah yang juga menunjuk pada
phalus. Sebutan “bawuk” atau “wawuk” dengan akronim “wuk” kini
digantikan oleh “genduk” dengan akronim “ndok”. Istilah ini bersinonim
dengan “genuk” atau akronim “nuk”. Kata “genuk” menunjuk pada jambangan
kecil tanpa bibir dari tanah liat untuk menyimpan beras, yang
mensimbolkan perempuan.
Sebutan “bawuk” dan “kuncung” kini ambang
dilupa oleh warga masyarakat Jawa. Padahal, pada beberapa dasawarsa lalu
masih terdapat serial kartun “Bawuk-Kuncung” di media cetak. Begitu
pula, kala itu terdapat majalah anak-anak bertitel “Si Kuncung”.
Demikianlah, ketika di Jawa sebutan “bawuk” dan akronimnya “wuk” telah
ditinggalkan, justru pada warga keturunan Jawa di Surinane sebutan “wuk”
masih lazim dipergunakan. Seolah peristilahan Jawa di Suriname menjadi
kamus istlah Jawa lama, yang di Jawa sendiri istilah itu boleh jadi
telah tidak atau nyaris tidak dikenal lagi..
Dwi Cahyono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar