Senin, 16 Desember 2019

Serat Suluk Gatolotjo 5



Serat Gatholoco

Serat Suluk Gatolotjo 5


Sebagai serat sinkretis, berpaham gado-gado, Gatolotjo adalah gambaran kemaluan laki-laki yang diperankan sebagai ‘tutup’.

Fungsi tutup untuk ‘menutupi’ organ lain yang ‘terbuka’. Akan terbentuk kesempurnaan jika organ lain itu telah tertutupi. Filosofi ‘tumbu oleh tutup’, ‘benda terbuka mendapat penutup’ di sini secara wadag adalah penyatuan kelamin laki-laki dan kelamin perempuan. Ini cerminan ‘sangkaning dumadi’ yang dipercaya sebagai asal-usul manusia.








Filosofi Jawa Tumbu Ketemu Tutup

Tumbu nemu tutup merupakan pepatah bahasa Jawa yang telah menjadi peribahasa yang populer di lingkungannya. Arti peribahasa tumbu nemu tutup adalah pas, cocok atau tepat. Sebab mencari tutup untuk tumbu adalah sangat susah. Karena biasanya tumbu dibuat tanpa tutup. Dan kalau sampai ada menemukan tutupnya,pastinya sangat ajaib, karena kemudian tumbu. Tumbu tersebut akan memiliki manfaat yang berlipat ganda. karena selain dapat berguna sesuai fungsinya, juga dapat di gunakan untuk menyimpan sesuatu agar tidak disemuti atau dilaleri (dilalati).

Tumbu adalah wadah yang di buat dari anyaman bambu dan di bentuk sedemikian rupa sehingga ada yang berbentuk oval ataupun segi empat. Tumbu ada yang besar dan ada juga yang kecil. Tumbu kecil biasanya di gunakan sebagai tempat nasi. Sedangkan yang besar bisa di manfaatkan untuk apa saja, seperti mengilas tempe, tempat menyimpan gabah kering, dan lain-lain.

Pepatah Tumbu nemu tutup dalam bahasa Jawa  di ucapkan untuk mengambarkan sesuatu yang serasi, tepat, pas, klop, atau hal-hal lain yang serupa baik yang memiliki makna positif ataupun negatif. Misalnya, seorang suami yang pemalas, mendapatkan istri yang malas juga, itu di katakan sebagai tumbu nemu tutup. Atau seseorang yang mempunyai teman yang serasi, kompak, saling mengisi dan melengkapi, juga dapat di katakan sebagai tumbu nemu tutup. Segala hal yang memberi kesan klop, serasi, pas, tepat, baik dalam konotais negatif ataupun positif dapat di katakan sebagai tumbu yang nemu tutup.

https://budayajawa.id/filosofi-jawa-tumbu-ketemu-tutup/
 
TUMBU OLEH TUTUP (Tumbu: wadah biasanya dibuat dari anjaman bambu, bentuknya segi empat dan ada tutupnya). Tumbu yang tidak berpenutup kemudian mendapatkan tutup menggambarkan dua orang yang sifatnya cocok satu sama lain. Dua orang baru berkenalan kemudian langsung akrab bisa dikomentari dengan: “Wah kaya tumbu oleh tutup”.

SATU MUNGGWING RIMBAGAN (Satu: sesuatu yang akan dicetak; Munggwing: mungguh ing, berada di; Rimbagan: cetakan. Maksudnya persis dengan “tumbu oleh tutup”.

http://iwanmuljono.blogspot.com/2013/03/orang-orang-sehati-dalam-paribasan-jawa.html

Mungguh janjine badan wadhag karo badan alus iku ora kêna pisah, sangkan-parane anunggal kahanan sajati, upama satu munggwing rimbagan, ananging wêwangsulan, ing têmbe badan wadhag iku luluh sampurna ana sajroning badan alus, kalimputan dening Chayu daim, têgêse urip kang têtêp dumunung ing kahanan-kita pribadi, mula dipralambangi: warangka manjing curiga, têgêse badan wadhag dumunung sajroning badan alus, nalika badan wadhag isih dadi êmbanan, lambange: curiga manjing warangka, têgêse badan alus isih dumunung sajroning badan wadhag.

Serat Wirid Hidayat Jati
- Raden Ngabehi Ronggowarsito

https://www.sastra.org/agama-dan-kepercayaan/kebatinan-dan-mistik/941-wirid-hidayat-jati-tanaya-1954-1729.

Dĕwi Sri ananipun |
Tiksnawati widadari iku |
anane Sri kadidene satu munggwing |
ing rimbagan saminipun |
dene margane patĕmon ||

https://archive.org/stream/seratcenthini/centhini01_djvu.txt

Penyatuan lingga-yoni sebagai cikal-bakal manusia memang tergambar dalam Gatolotjo. Sang penulis meyakini, sangkaning dumadi manusia itu bukan dari Tuhan, tetapi dari ‘pertemuan’ kemaluan laki-laki (lingga) dengan kemaluan perempuan (yoni). Menyatunya tumbu oleh tutup.

Dalam bahasa populer, kalangan ‘sinkretis Jawa’ sering menyebut, ‘asale menungso kuwi soko bapak lan embok’. Manusia itu berasal dari bapak dan ibu. Ini tidak berbeda dengan penyebutan ibu sebagai pertiwi dan angkasa sebagai ayah. Dalam pandangan Jawa, semuanya berpasang-pasangan agar terbentuk harmoni jagat. Keselarasan dunia.

Itulah sangkaning dumadi. Asal kejadian. Untuk itu dalam banyak aktifitas, pseudo atau terang-terangan, konotatif atau denotatif, nuansa tiap benda yang dipakai atau dikonsumsi masyarakat Jawa dominan merujuk pada paham lingga-yoni itu.

Gambaran manusia berasal dari ‘tumbu oleh tutup’, ‘penyatuan’ lingga dan yoni sampai sekarang masih lestari dan terjalani dalam kehidupan sehari-hari. Untuk ‘mengenang’ itu saban perayaan selalu dihadirkan. Bukan melalui pengkisahan Gatolotjo atau ‘pengumbaran aurat’, tetapi lewat simbol yang menyiratkan kepercayaan purba tersebut.

Simbol yang dimaksud salah satunya berbentuk tumpeng. Segalanya dianggap belum afdol jika belum dibuka dengan ‘potong tumpeng’.

Tumpeng dalam konteks ini merupakan gambaran dari ‘tumbu oleh tutup’, penyatuan lingga-yoni. Nasi mengerucut melambangkan lingga. Sedang sayuran dan lauk berserakan di bawahnya sebagai simbol yoni.

Boleh kita berargumen macam-macam soal ini. Tapi lestarinya tumpeng implisit pengakuan, bahwa kepercayaan lingga-yoni sebagai sangkaning dumadi sudah sangat mentradisi di masyarakat Jawa.

Dalam busana pun epheumisme yang mengarah ke paham itu tetap dipercaya masyarakat Jawa. Sarung, busana yang dipakai laki-laki sering diasumsikan sebagai akronim ‘kanggo nutupi barang kang nyurung’. Sarung itu untuk menutupi ‘benda’ yang suka mendorong. ‘Benda mendorong’ yang dimaksud adalah penis.

Begitu juga dengan kain yang dipakai wanita Jawa. Pakaian panjang ini disebut sewek. Penyebutan ini juga mempunya makna yang sama dengan sarung. Sewek dimaknai sebagai penutup ‘barang kang suwek’. Dan benda ‘robek’ yang dimaksud adalah kata asosiatif dari kemaluan perempuan, yaitu vagina, yang secara kasat mata memang bentuknya seperti ‘benda robek’.


https://sawitplus.co/news/detail/5986/serat-suluk-gatolotjo-5--filosofi-tumbu-oleh-tutup-versi-jawa


Tidak ada komentar:

Posting Komentar