Kamis, 19 Desember 2019

Serat Suluk Gatolotjo 11



Serat Gatholoco

Serat Suluk Gatolotjo 11


Embok iku pangeran katon. Ibu itu Tuhan yang tampak. Kalimat itu sering terucap di desa-desa Jawa. Dengan kata lain, representasi Tuhan di dunia ini adalah ibu. Dia ‘pelahir’ kehidupan melalui gua garba, ‘gua kesucian’, dan dia pula yang dijadikan sesembahan. Pepunden.

Ini menunjukkan, bahwa dalam konsep lingga-yoni, kendati superioritas lelaki amat menonjol tetapi posisi ibu juga sangat ‘ditinggikan’. Dalam konsep ini asas keselarasan sangat penting. Harmonisasi diutamakan, tak perduli darinya menimbulkan disharmonisasi jika didekati melalui agama atau keyakinan tertentu.

Dalam persoalan ‘sakralitas vagina’, posisi ibu didramatisasi sebagai tuhan karena ’pelahir kehidupan’. Fungsi ibu adalah ‘tumbu’. Dia penyemai janin, ‘bibit manusia’. Tentang hubungan antara ‘bibit’ dengan ‘tumbu penyemai’ tidak banyak disoal. Itu karena yang tidak layak gampang menjadi layak jika digunakan ‘cara’ yang memungkinkan untuk membuatnya layak.

Sebab bagi keyakinan Jawa, ‘cara’ ini sangat fundamental. Baik dan buruk tidak bisa hanya didekati melalui kebaikan dan keburukan itu sendiri. Ada ‘cara’ penyampaian yang berlaku dan tepat agar kebaikan dan keburukan itu menjadi kebaikan.

Menariknya, ‘cara’ ini berlaku universal, termasuk dalam mensakralisasi vagina. ‘Kesakralan’ vagina itu sangat longgar. Bagi sebuah ritus, ‘tumbu’ dan ‘penutup tumbu’ tidak mengenal batas. ‘Moral’ dan ‘etika’ tidak cukup mampu membentengi.

Bahkan ‘tumbu dan penutup tumbu’ itu tak disoal dilakukan insan sedarah atau usia berbeda sangat jauh. Kakek dan perawan tidak masalah, adik dan kakak oke-oke saja, juga pasutri berganti pasangan atau ‘main seks’ keroyokan. Termasuk melibatkan hewan sebagai pasangan.

Dalam Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwat Diyu, Begawan Wisrawa sah menggauli Dewi Sukesih. ‘Cara’ untuk ‘mengesahkan’ hubungan orangtua ini dengan gadis yang ditaksir puteranya itu adalah dengan ‘melibatkan’ Bathara Guru dan Dewi Uma. Bathara Guru dan permaisurinya dikisahkan bangkit nafsu birahinya ketika mantra kesempurnaan itu dibabar Wisrawa.


Sastra Jendra Hayuningrat


Sastra Jendra Hayuningrat adalah suatu kitab atau ajaran suci berasal dari Tuhan yang merupakan rahasia dari agama yang dapat menyelamatkan umat dan dunia semesta yang terdapat dalam kisah pewayangan.Arti kata Sastra Jendra Hayuningrat berdasarkan tiap kata dapat diartikan Sastra berupa tulis, ilmu atau kitab. Jendra berarti milik raja atau diidentikkan dengan Tuhan. Hayuningrat berarti keselamatan umat dan dunia semesta. Sastra Jendra Hayuningrat ini identik dengan budaya Jawa dan kisah wayang Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi.

Makna Sastra Jendra Hayuningrat


Ngelmu wadining bumi kang sinengker Hyang Jagad Pratingkah. Artinya: Ilmu rahasia dunia atau alam semesta yang dirahasiakan atau berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Pangruwating barang sakalir. Artinya: Dapat membebaskan dan menyelamatkan segala sesuatu.
Kawruh tan wonten malih. Artinya: Tiada ilmu pengetahuan lain lagi yang dapat dicapai oleh manusia.
Pungkas-pungkasaning kawruh. Artinya: Ujung dari segala ilmu pengetahuan atau setinggi-tingginya ilmu yang dapat dicapai oleh manusia atau seorang sufi.
Sastradi. Artinya: Sastra Adiluhung atau ilmu yang luhur.

Riwayat


Dalam tradisi sastra Jawa Kuno istilah Sastra Jendra Hayuningrat dikenal dalam teks Uttarakanda Jawa Kuno. Teks Uttarakanda Jawa Kuno adalah gubahan dari teks Uttarakanda Sansekerta pada akhir 10 Masehi. Teks Uttarakanda Jawa Kuno berisi tentang kisah Rahvanotpatti atau kelahiran Rahwana. Isinya tentang keinginan Sumali untuk mengawinkan putrinya yang berwajah raseksi bernama Kaikasi dengan Visrava, dengan harapan supaya ia memperoleh keturunan yang menyerupai Vaisravana, seorang dewa cemerlang. Pada zaman Majapahit tahun 1379 M kisah Ravanotpatti ini digubah kembali oleh Mpu Tantular menjadi Kakavin Arjunavijaya.
 

Kisah Wisrawa dan Sukesi


Prabu Sumali mengumumkan sayembara bahwa siapa yang bisa menjabarkan ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, akan menjadi suami dari Dewi Sukesi. Ilmu yang disayembarakan ini adalah ilmu yang hanya diketahui oleh para dewa. Di kerajaan Lokapala, Prabu Danaraja meminta ayahnya Begawan Wisrawa untuk meminang Dewi Sukesi. Berangkatlah Begawan Wisrawa ke negeri Alengka untuk meninang Dewi Sukesi.

Karena ilmu yang diajarkan oleh Begawan Wisrawa adalah ilmu rahasia maka penjabaran ilmu tersebut dilakukan di tempat tertutup oleh Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi. Pada saat menjabarkan ilmu tersebut terjadilah keributan di kahyangan akibat ilmu tersebut. Untuk mencegah ilmu itu tersebar, Batara Guru dan Dewi Uma menyusup ke dunia. Batara Guru masuk ke dalam Begawan Wisrawa, sedangkan Dewi Uma masuk ke dalam Dewi Sukesi. Lalu terjadilah hubungan intim di antara Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi.

Karena peristiwa tersebut, Begawan Wisrawa dinikahkan dengan Dewi Sukesi. Prabu Danaraja yang mendengar kabar tersebut menjadi sangat marah karena dikhianati oleh ayahnya sendiri. Prabu Danaraja mengirimkan pasukan dari Lokapala untuk menggempur Alengka. Sewaktu Begawan Wisrawa dan Prabu Danaraja perang tanding, turunlah Batara Narada untuk memberitahukan kepada Prabu Danaraja bahwa Dewi Sukesi adalah jodoh ayahnya.

https://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jendra_Hayuningrat


 
Rahwana, anak dari Sukesi dan Wisrawa akibat menjabarkan ilmu Sastra Jendra Hayuningrat

Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi

Keempat anak Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi itu memiliki karakter dan sifat yang berbeda dan unik. Di antaranya:
  1. Rahwana/Dasamuka (raksasa). Ia mempunyai perangai yang jahat, bengis, serakah dan angkara murka ini sebagai simbol dari nafsu lauwamah.
  2. Sarpakenaka (raksasa wanita setengah manusia). Ia memiliki karakter suka pada segala sesuatu yang enak-enak, rasa benar yang sangat besar, senang mengumbar syahwat, tetapi ia sakti dan suka bertapa. Ia menjadi simbol nafsu supiyah.
  3. Kumbakarna (raksasa). Ia mempunyai karakter raksasa yakni bodoh tetapi setia, namun memiliki sifat pemarah. Karakter kesetiannya membawanya pada watak kesatria yang tidak setuju dengan sifat kakaknya Dasamuka yang serakah. Kumbakarna menjadi lambang dari nafsu amarah.
  4. Gunawan Wibisana (manusia seutuhnya). Ia mempunyai sifat yang sangat berbeda dengan semua kakaknya. Dia selalu berpegang pada kebenaran dan rela meninggalkan saudara-saudaranya yang dia anggap salah. Ia lalu mengabdi kepada Sri Rama untuk membela kebenaran. Karena itulah, ia pun menjadi perlambang dari nafsu mutmainah (nafsu yang baik).


Nitis Ngawanci Sastrahing Jendra


Cur pulung Mandala Agung,
– Mandala Sastrahing Jendra,
– Mandala Hayuning Ratu,
– Mandala Pangruwating Diyu,
– Mandala jatining rasa Geus ngucur jati rahayu,
– Jati Langit Lohing Mahpud,
– Nitis Bumi Loh Jinawi,
– Nitis sumereping ati,
– Ati kula ati Sunda,
– Matarema Insun – Dia,
– Ati rasa nu sajati,
– Nu ngancik na jero diri.
 
Pur ngempur cahyahing Mandalajati, nu ngebrak gilang gumilang, Nu hurung jero kurungan
Pur ngempur Mandala Agung Cahyahing gilang gumilang Nu nyaangan Pawenangan Sastrahing Jendra Hayuning Ratu Pangruwating Diyu PANGGUMULUNG “keun upayakeun” Mandala Jati kana “kun fayakuning” Mandala Agung.
Rep rerep sumerep-hing gumulung nyarungsum balung Tis nitis tumitis-hing ngagetih ngaati Jleg ngadeg Sastra-hing Jendra Hayun-hing Ratu Pangruwat-hing Diyu Nyurup ngamanusa Sunda Dina adegan Khalifah.



Pasutri yang terangsang itu akhirnya turun ke bumi. Bathara Guru menyusup dalam wadag Abiyasa. Sedang Dewi Uma menyusup ke dalam tubuh Dewi Sukaesih.

Tatkala Dewa dan Dewi itu berkasih mesra diteruskan melakukan hubungan intim, maka secara kasat mata itu adalah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukaesih. Tubuh keduanya dipakai ‘sarana’ pelampiasan nafsu dewa.

Dalam Serat Ruwat Kidung Sudamala, hubungan seks tanpa terikat tali perkawinan itu juga berlangsung antara Sudamala (Sadewa) dengan Bethari Durga, yaitu Dewi Uma istri Bathara Guru yang sedang menjalani kutukan.

Ratu Istana Gondo Mayit itu akan terbebas dari kutukan jika datang seorang ksatria tampan rupawan yang rela kencan. Akhirnya masuklah Bathara Guru ke dalam wadag Sadewa, dan satria ini melayani ratu demit itu di tempat tidur. Bethari Durga kembali menjadi Dewi Uma yang cantik jelita, sedang Sadewa selamat, tak jadi dimangsa.

Tak ada yang menyalahkan ‘tragedi cinta terlarang’ ini. Permisifitas terjadi, karena ‘cara’ yang digunakan agar asusila itu menjadi ‘susila’ melalui dewa yang kehendaknya lebih superior dibanding manusia. Dalam Islam dikenal kun fayakun. Jika Allah berkehendak, jadi, maka jadilah ! Tak ada kekuatan manusia. Semua itu kehendak Tuhan.

Namun benarkah ‘sakralitas vagina’ dan ‘cara’ membolehkan yang tidak boleh itu hanya monopoli Jawa? Ternyata tidak. Di Sulawesi Utara, mitos Toar dan Lumimuut yang diakui sebagai cikal-bakal etnis Minahasa juga hampir sama. Termasuk mitos Sangkuriang di tatar Sunda.


https://sawitplus.co/news/detail/6062/serat-suluk-gatolotjo-11--ini-mistik-vagina-representasi-dewa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar