Minggu, 15 Desember 2019

Serat Suluk Gatolotjo 2



Serat Gatholoco

Serat Suluk Gatolotjo 2


Manusia Jawa itu memang manusia yang ‘nriman ning ora nrimo’. Gampang menerima apa saja, termasuk paham yang datang dari berbagai agama, tetapi ‘penerimaan’ itu tidak otomatis dijalankan sesuai aslinya.
NRIMA ING PANDUM
“Nrima itu tidak “ngaya” tetapi bukannya kurang upaya. Orang “nrima” tetap berusaha agar cita-citanya tercapai. Bukannya menjadi orang yang tidak mau ikhtiar. Bila tanpa upaya samasekali, namanya bukan “nrima” lagi melainkan malas. Orang malas hanya mau enaknya tidak mau kerja kerasnya, “gelem ngemplok suthik tombok” alias mau makan tetapi tidak mau keluar biaya. Yang seperti ini adalah orang tidak tahu malu dan disingkirkan dari kehidupan masyarakat.

Bisa dibayangkan betapa menyebalkannya orang malas yang berpendirian “njagakake endhoge si Blorok”. Si Blorok adalah ayam kampung betina yang kita tunggu-tunggu telurnya. Dia akan bertelur terserah kapan dia mau. Apalagi dia cari makan sendiri di luar sana karena tidak pernah kita beri makan secara rutin.

Ada lagi mental “thenguk-thenguk nemu kethuk”. Ya memang kadang-kadang ada orang yang gampang memperoleh sesuatu tanpa kerja, tetapi kan tidak semua orang. Atau barangkali waktu kecil suka membaca “Donal Bebek” dan mengidolakan “Untung Bebek” yang selalu mendapatkan apa saja tanpa kerja, sementara Donal Bebek kerja keras tetapi selalu apes. Ketika si pemalas ini bekerja kemudian ia merasa telah kerja keras tetapi hasil yang diperoleh tidak memadai, ia cepat keluh kesah mengatakan “gupak pulute ora mangan nangkane”, dapat getahnya tidak makan nangkanya. . Lebih baik kita meneladani Donal Bebek. Bagaimanapun ia terus berupaya.

Jarang orang bisa menempatkan rasa “nrima” atas apa saja yang dicapainya. Umumnya manusia tidak pernah merasa cukup dan akan mencari tambahan. Ternyata setelah bertambah ia masih merasa kurang juga. Saat sudah berlebih-lebihan ia akan berupaya agar tidak ada orang lain yang menyamai. Manusia dengan hati seperti itu sebenarnya kasihan. Hidup selalu “ngaya”, selalu dikejar-kejar. Kemudian untuk mengejar apa yang dia inginkan ia bisa bertindak yang tidak seharusnya dan menyimpang dari perilaku benar. Sebenarnya rasa “tidak pernah puas” terhadap hasil kerja atau tugas yang sedang diemban, sepanjang tidak “ngaya” merupakan cambuk yang baik untuk kemajuan.

Perlu dicatat bahwa orang yang sudah puas dengan capaiannya belum tentu masuk katagori nrima. Ada seorang tukang becak habis nggenjot keliling-keliling kota ngantar turis bule “sightseeing” dikasih selembar uang 20 ribu langsung pulang. Padahal hari masih pagi. Masih banyak waktu dalam jam kerja normalnya yang terbuang percuma. Ini bukanlah nrima. Justru termasuk katagori pemalas.

Keuntungan orang yang mempunyai hati “nriman” selalu tenang dan tenteram hidupnya, karena semua tingkah-lakunya selalu dilandasi keyakinan yang tebal atas “kadar” pemberian Allah. “Nrima” bukan berarti puas dengan apa yang ada tetapi justru sebaliknya orang “nriman” tidak mau diam. Hanya saja tindakannya tidak pernah grusa-grusu, kemrungsung seperti orang yang “ngaya” seolah tidak mau mengakui adanya “pandum” untuk masing-masing manusia. Orang “Nrima” tidak pernah mengumpat atas hasil yang dia peroleh, karena sudah ada “pandum” dari Tuhan. Ia mengubah umpatannya dengan menghibur diri bahwa rejeki yang dia terima sudah diatur timbangannya sesuai dengan perbuatannya dan yang penting apa yang dia peroleh berasal dari perbuatan tidak tercela. (IwMM)
Paham itu butuh waktu panjang untuk diterima. Butuh proses surealitas untuk bisa menjadi bagian dari batin manusia Jawa.

Setiap paham yang datang, asal bilang ‘kulo nuwun’ akan ‘dipersilahkan masuk’. Setelah ‘bertamu’ terjadi proses seleksi ketat melalui ‘saringan roso’ (batin).

‘Cawan’ penyaring itu berasal dari keyakinan lama. Tatkala paham itu mempunyai kesamaan dengan keyakinan purba, maka kesamaan itulah embrio yang berhasil ‘nyantol’ ke dalam batin orang Jawa.

‘Kesamaan’ memang ‘pintu masuk’. ‘Kesamaan’ itu yang menggugah batin manusia Jawa untuk melakukan ‘kreatifitas tinggi’, menggodok tiap paham yang datang sebelum dipeluknya.

Untuk itu jika kelak manusia Jawa itu mengamalkan sebuah ajaran, maka hakekatnya ajaran itu bukanlah ajaran yang datang dan dipersilakan masuk tadi. Ajaran itu telah berganti ‘baju’. Baju itu hasil ‘permakan’, adonan yang berasal dari berbagai paham. Itulah ‘paham baru’, sinkretisme, yang acap juga disebut kejawen.

Pandangan seperti itu secara eksplisit tertuang dalam Kitab Wedhatama karangan Mangkunegaran IV (1809–1881) . Agama Islam yang merambah kerajaan pedalaman (Mataram) memberi ‘pemahaman unik’ terhadap keyakinan sang raja dalam menerima ‘agama baru’ itu.

Dalam satu pupuhnya dikatakan : “Kowe kuwi wong Jowo le, ojo ndadak ngikuti lakune nabi. Biso cegah lek lan cegah dhahar wae wis cukup.” Artinya, kamu itu orang Jawa, jangan berharap banyak bisa mengikuti sunnah Nabi (Muhammad). Bisa ‘mengurangi tidur’ dan puasa saja sudah cukup.

Juga dalam Serat Centhini yang digagas Pakubuwana (1788-1820). Serat kolaborasi ‘berbagai ahli’ itu juga terbentang campuran heterogenitas agama dan kepercayaan.

Kendati sosok tokoh-tokohnya, Amongrogo, Ni Tambang Raras serta Centhini dipersonifikasikan sebagai ‘Islam deles’, pemeluk Islam taat, figur yang sangat Islami, toh sikap dan perilakunya tetap ‘mblakrak’ (mengembara) kemana-mana. Jauh menyimpang dari kaidah Islam !

Pandangan dua ‘raja Mataram’ itu sudah mewakili ‘dunia batin’ orang Jawa. Namun jika mau surut ke belakang, ‘sinkretisasi Islam’ itu sebenarnya sudah mengental sejak Sultan Agung (1613-1646). Raja ketiga Mataram sebelum terpecah oleh Perjanjian Giyanti (1755) dan Perjanjian Salatiga (1757) itu dikenal sangat cerdik.

Kecerdikannya sebagai negarawan, Sultan Agung memanfaatkan agama sebagai sarana berpolitik. Islam dipakainya untuk menerapkan politik devide et impera. Politik pecah-belah sebelum menginvasi kerajaan Islam dari dalam bagi perluasan teritorial Mataram.


http://iwanmuljono.blogspot.com/2011/11/nrima.html
https://sawitplus.co/news/detail/5930/serat-suluk-gatolotjo-2--manusia-jawa-itu-nriman-ning-nora-nrimo


Tidak ada komentar:

Posting Komentar