Aji Asmaragama - Serat Nitimani
Aji Asmaragama
Sang Murwenggita :“Manawi tanglet kawujudanipun warni punapa punika kula dereng terang, amung kinten-kinten ingkang nama aji asmaragama wau bok manawi tegesipun makaten : aji punika tegesipun kaaji-aji rerenggan(52) utawi pakurmatan, dene asmara tegesipun sengsem, sanggama salulut, dene ingkang binasakaken salulut wau tegesipun pepuletan, momoran utawi kekumpulan. Dados pikajengipun ingkang binasakaken aji asmaragama wau bok menawi boten klintu anggen kula mastani rerenganing sengsem, pepuletan amoring jalu lan wanita.”
Serat Nitimani (Syech SITI JENAR)
Sistem nilai budaya dan ajaran seks
dalam Serat Nitimani (Syech SITI JENAR)
Ajaran seks dalam Serat Nitimani terbukti mengandung sistem nilai budaya Jawa yang berlandaskan pada nilai religiusitas. Pada akhirnya dapat dilihat bahwa Serat Nitimani mengandung ajaran atau pedoman moral, nilai, dan kaidah bagi orang Jawa mengenai bagaimana cara melakukan hubungan seks yang benar dan tepat, karena hal tersebut berhubungan dengan inti ajaran kebatinan Jawa yaitu sangkan paraning dumadi dan manunggaling kawula Gusti.
SERAT NITI MANI
Dalam budaya Jawa norma serta aturan dalam melakukan hubungan seksual diturunkan oleh orang Jawa melalui ajaran kepada keturunannya baik dalam betuk lisan atau tertulis. Dalam bentuk tertulis ajaran tersebut tertuang dalam karya sastra yang telah ada sejak zaman dulu. Karya-karya sastra yang mengangkat tema asmaragama antara lain :
Ajaran seks dalam Serat Nitimani terbukti mengandung sistem nilai budaya Jawa yang berlandaskan pada nilai religiusitas. Pada akhirnya dapat dilihat bahwa Serat Nitimani mengandung ajaran atau pedoman moral, nilai, dan kaidah bagi orang Jawa mengenai bagaimana cara melakukan hubungan seks yang benar dan tepat, karena hal tersebut berhubungan dengan inti ajaran kebatinan Jawa yaitu sangkan paraning dumadi dan manunggaling kawula Gusti.
SERAT NITI MANI
Dalam budaya Jawa norma serta aturan dalam melakukan hubungan seksual diturunkan oleh orang Jawa melalui ajaran kepada keturunannya baik dalam betuk lisan atau tertulis. Dalam bentuk tertulis ajaran tersebut tertuang dalam karya sastra yang telah ada sejak zaman dulu. Karya-karya sastra yang mengangkat tema asmaragama antara lain :
-
Serat Gatholoco.
-
Serat Damogandhul.
-
Suluk Tambangraras (Serat Centhini).
-
Serat Nitimani.
Dalam budaya Jawa diajarkan bahwa untuk
menghasilkan sesuatu yang baik maka proses awal penciptaan juga
harus baik dan dengan restu Tuhan sebagai Sang Maha pencipta.
Demikian pula dengan proses hubungan seksual yang tujuan utamanya
adalah menghasilkan keturunan.
Untuk mendapatkan keturunan yang baik dalam segala hal, kehadirannya di sunia ini haruslah melalui niat awal yang baik serta proses hubungan seksual yang benar dan tepat. Untuk dapat berhubungan seksual dengan baik maka dibutuhkan pengetahuan mengenai segala hal tentang seks. Pengetahuan mengenai hubungan seksual sangat dibutuhkan karena akan berhubungan dengan kehidupan selanjutnya. Jika prosesnya sudah salah, maka akibat yang ditimbulkan akan buruk, bukan hanya bagi anak yang dihasilkan tetapi bagi keseimbangan serta keselarasan kehidupan ini.
Kesalahan dalam proses berhubungan seksual dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah kama salah. Maka untuk mencegah terjadinya kama salah manusia harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai tata cara hubungan seksual. Dengan pengetahuan yang memadai maka diharapkan orang dapat berpikir lebih jauh mengenai hubungan seksual sehingga tidak melakukannya dengan sembarangan karena akibatnya sangat fatal bagi keberlangsungan hidup umat manusia dan keselarahan hubungannya dengan alam sekitar tempat manusia hidup.
Akibat yang fatal tersebut muncul pada keadaan masyarakat sekarang dimana banyak orang mulai melakukan hubungan seks tanpa mengindahkan norma serta etika yang berakibat pada munculya masalah-masalah dalam kehidupan masyarakat sepeti pemerkosaan, semakin banyak anak-anak terlantar hingga terjadinya peningkatan kriminalitas.
Dalam kasanah budaya Jawa terdapat ajaran atau pedoman moral, nilai dan kaidah bagaimana cara melakukan hubungan seks yang benar dan tepat, sebagaimana dalam Serat Nitimani berikut cuplikan-cuplikan yang berkaitan dengan Ajaran dimaksud :
dan untuk menekankan kami garis bawahi dengan warna hijau untuk pembelajaran seks dalam serat nitimani
Untuk mendapatkan keturunan yang baik dalam segala hal, kehadirannya di sunia ini haruslah melalui niat awal yang baik serta proses hubungan seksual yang benar dan tepat. Untuk dapat berhubungan seksual dengan baik maka dibutuhkan pengetahuan mengenai segala hal tentang seks. Pengetahuan mengenai hubungan seksual sangat dibutuhkan karena akan berhubungan dengan kehidupan selanjutnya. Jika prosesnya sudah salah, maka akibat yang ditimbulkan akan buruk, bukan hanya bagi anak yang dihasilkan tetapi bagi keseimbangan serta keselarasan kehidupan ini.
Kesalahan dalam proses berhubungan seksual dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah kama salah. Maka untuk mencegah terjadinya kama salah manusia harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai tata cara hubungan seksual. Dengan pengetahuan yang memadai maka diharapkan orang dapat berpikir lebih jauh mengenai hubungan seksual sehingga tidak melakukannya dengan sembarangan karena akibatnya sangat fatal bagi keberlangsungan hidup umat manusia dan keselarahan hubungannya dengan alam sekitar tempat manusia hidup.
Akibat yang fatal tersebut muncul pada keadaan masyarakat sekarang dimana banyak orang mulai melakukan hubungan seks tanpa mengindahkan norma serta etika yang berakibat pada munculya masalah-masalah dalam kehidupan masyarakat sepeti pemerkosaan, semakin banyak anak-anak terlantar hingga terjadinya peningkatan kriminalitas.
Dalam kasanah budaya Jawa terdapat ajaran atau pedoman moral, nilai dan kaidah bagaimana cara melakukan hubungan seks yang benar dan tepat, sebagaimana dalam Serat Nitimani berikut cuplikan-cuplikan yang berkaitan dengan Ajaran dimaksud :
dan untuk menekankan kami garis bawahi dengan warna hijau untuk pembelajaran seks dalam serat nitimani
Serat Nitimani (Syech SITI
JENAR) (P#1 Pupuh I-VI)
PUPUH I
(1) Serat Nitimani punika, duk nalika murwenggita, jroning warsa lumaksana, tinengeran candra sangkala, rasaning janma kaesthi juga, *** (taun Jawi 1816).
Mangkya wau kang pustaka, ing karsa arsa tinata, kaewah ukaranira, kawewahan lan rinengga, duk kala mangriptanira, aniti pranata mangsa, almenak ing taun Jawa, purnama ing wulan sela, kuranthil ing wukunira, panuju ing mangsa sadha, tinengran candra sangkala, Raden Mas Aryasuganda, amandeng ngesti bathara, @@@ (taun Jawi 18210.
PUPUH II
Ingkang kinarya bebuka, kinantha petha saloka wangsalan tembung surasa, mung kinarya langgen driya, pralambang tumraping putra, kang supaya cinangua, mring weka kang maksih dama, ngularana kasebut ngandhap punika :
Witing luput : amarga saking kalimput, yen kadaut : sayekti amanggih puput, ywa katracut, dipunemut miwah nebut, mrih tan kerut, pa(2)karyanira kang patut.
Witing lepat : amargi saking kirang limpat, dadya mlarat, yekti datan manggih hurmat, yen kesrakat, yen kebat gonira tobat, mrih binirat, ngegungna manising ulat.
Witing siku, ya saking pugaling laku, yen katleku, tan dangu amanggih bendu, reh rinengu, ruwaten budi rahayu, akaton sumeh ing semu.
(1) Lamun tandhing, marsudiya ing tyas ening, mamrih ering, kang supadi tan kajungking, den dumeling, gone ngliling dimen eling, yen wus takluk, ywa kongsi diengkuk-engkuk.
dalam bahasa indonesia :
Apabila sedang bertanding, usahakanlah hati tetap hening, agar konsentrasi tetap terjaga, supaya tidak terkalahkan. Yang dimaksud dengan “bertanding” dalam hal ini adalah analogi dari persetubuhan
(2) Yen wus menang, manggalih aja gumampang, kudu nimbang, mrih langgenge denya numpang.
Manungseku, kudu buru winahyu, kanthi laku, lan patitising.
De manungsa, kudu ngupaya nugraha, pametira, wit saking brata laksana.
(3) Empan mapanipun makaten : yen lelewa, den bisa anuju prana, mamrih rena, lan sukaning kang miharsa.
Yen sembrana, den prayitna sampun lena, lamun ina, sayekti amanggih weda.
Apabila ceroboh, waspadalah jangan sampai lengah, sungguh sangat menyakitkan. Kata ceroboh maksudnya adalah dalam konteks persetubuhan agar tetap waspada di dalam melakukan hubungan seksual sehingga tidak mengalami hal-hal yang tidak diharapkan.
Lamun cuwa, sampun kawustareng netya, wrananana, ing suka dhanganing karsa, kang supadya, datan amanggih dirgama.
Apabila tidak puas, janganlah terlihat di wajah, tutupilah, dengan wajah yang ceria, agar supaya, tidak mendapat kesulitan. Tidak puas yang dimaksud disini, masih dalam konteks hubungan seksual yaitu keadaan dimana salah satu pihak belum mencapai titik kepuasan atau orgasme.
Lamun gela, jroning nala sampun daga, sengadiya, langkung condong ing wardaya, pamrihira, kang pinanduk tan legewa.
Apabila kecewa, janganlah membrontak dalam hati, niatilah, untuk lebih berlapang dada, dengan harapan, agar ketidakpuasan tidak berlarut-larut. Kecewa dalam ungkapan ini masih dalam konteks hubungan seksual dan tidak mencapai kepuasan.
Lamun rengu, aja kadulu ing semu, yen kaliru, graitane kang tinuju, kang saestu, anampi pamanggih dudu.
Lamun lingsem, ing gunem aja katingkem, lamun amem, yekti katara ing klecem.
Apabila terjerat rasa malu, janganlah membisu, karena bila berdiam diri, niscaya akan terlihat di wajah. Ketika seorang laki-laki mengalami kegagalan di dalam berhubungan seksual karena hal-hal tertentu, maka disitulah dia akan merasa sangat malu.
Lamun supe, panggalih sampun kalimpe, amrih sae, supadi tan manggih dede.
(4) Lamun harda, sampun dadra murang krama, mrih widada, pakartine kang utama.
Apa bila punya keinginan, janganlah lepas kendali menerjang etika, agar selamat, utamakanlah sikap luhur. Keinginan maksudnya adalah dalam hal ingin melakukan hubungan seksual maka jangan sampai lepas kendali, harus tetap memperhatikan etika.
Yen murina, angakaha ucal cihna, karya tandha, dimen antuk manuhara.
Yen sumungku, jro kalbu den ambeg sadu, kang saestu, antuk saening panemu.
Lamun bekti, jro ati den ambeg suci, kang supadi, antuka panganggep yekti.
Yen sumembah, den genah tancebing manah, dipunkekah, supada angsal berekah.
Lamun sujud, aja kalimput ing limut, pamrih turut, saening lampah tan kerut.
Yen alabuh, ywa tambuh manggih pakewuh, mamrih bakuh, yen tinempuh datan keguh.
Lamun labet, den memet uninga ubet, mrih tan ribet, yen kasrimpet ing rwruwet.
Yenn Anglaras, Panggagas aja sampun kabrangas, dimen awas, ing pamawas datan tiwas.
Jika sedang menikmati sesuatu, janganlah kesadaran terlena, agar tetap siaga, kewaspadaan tak akan tiwas. Maksudnya adalah jika sedang berada dalam kenikmatan berhubungan seksual, kewaspadaan dan kesadaran diri haruslah tetap dijaga, supaya tidak menemui tiwas atau maut.
(5) Lamun purik, ywa elik weruha sarik, mamrih apik, ywa kongsi amanggih serik.
Lamun mutung, ywa liwung kongsi kadarung, yen jinurung, yekti suwung dadya bingung.
Yen kaduwung, ywa jetung panggalih kadung, yen delarung, ing wekasan dadya kumprung.
Lamun mupus, ing pamawas dipunalus, dimen tumus, kulina panggawe bagus.
Lamun lara, den pasrah marang Hyang Suksma, yen katrima, tantara yekti nirmala.
Lamun sedih, den bisa memisah amrih, nanging rasa, malayu duhkitanira.
Lamun susah, den betah ambeg tuminah, mbok kaprenah, nugrahen Hyang saben murah.
Lamun getun, ywa bebangun ati gumun, mbok wulangun, kanduk ing ati ngungun.
Budi eram, karya limput temah kewran, ywa kataman, wimbuh kadeng kang budiman.
(6) Ywa sumengguh, mundak kataman kang tambuh, dadya wimbuh, wimbaning budi pangrengkuh.
Ywa mamengku, lamun tan pranaweng kalbu, yen kasluru, rinetu panampa eru.
Aja wangkot, yen pedhot pandadi abot, bedhat momot, wekasan tan bisa kamot.
Ajwa lumuh, yen binobot ing pakewuh, dadya wimbuh, abiprajaning tumuwuh.
Aja rikuh, yen rinaket rapu kang suh, mundak kisruh, gawe lingsem kang pada wruh.
Ywa piangkuh, yen tan wruh benering kewuh, temah tinutuh, tetuladan bangsa pajuh.
Ajwa dangkal, yen tan wruh kleru ing akal, yen katragal, dadine kaacan nakal.
Aywa doso, yen tan wruh benering bodho, temah loso, ingaranan bangsa sato.
Yen dedasih, ywa wigih panggawe luwih, ingkang pinrih, mamrih winalesa ing sih.
(7) Lamun tresna, den murina labetira, mrih santosa, widadaning abipraja.
Yen suwita, den sedya apuruhita, mrih binuka, uninga tata silaraja.
Lamun abdi, kudu bisa nyimpen wadi, dadya sidi, bakal eruh rungsiding Widdhi.
Yen santana, den rila ing labet tama, mrih tan kemba, ing lyan anggone mandarsana.
Lamun batur, kedah anut lan tumutur, amrih jujur, tan siningkur para luhur, yen tan mulur, kabanjur tan wruh ing edur.
Lamun ngenger, den ater ambeg blater, wruha teter, pakarywan ywa kongsi ngether.
Yen angunjung, neng ngarsaning pra linuhung, srana irung, mrih nganaken tandha dekung.
Yen sejarah, mrih astana janma pejah, den cecegah, karenanira bangsa dyah, yen sinarah, temah siku manggih tulah.
Yen cecegah, den betah gonira ngampah, nganggah-anggah, yeku pakarti luamah.
Selama mengendalikan diri, bersabarlah menahan hawa nafsu, lepas diri tanpa kendali, merupakan prilaku serakah. Orang harus belajar mengendalikan nafsunya (nafsu dalam konteks ini adalah nafsu birahi) agar tidak kelepasan sehingga menyebabkan sesuatu yang tidak baik.
Yen sumungkem, den kojem nganti tumanem, dadya tegen, amrih antuk kang pangalem.
Yen sembahyang, ywa ginggang neng tepeting Hyang, mrih sumimpang, panggodhaning para dhayang.
Lamun salat, ulat madhepa ing keblat, jroning niyat, nut srengat Nabu Mukhamad.
Aja cihak, ngaku anake si bapak, mbok kacentak, yen pangawruh durung pepak.
Lamun mamak, panganggone cihak-cihak, yeka nracak, weh cingak kang pada cedhak.
Aja ciya, ngaku putrane si rama. Yen sanyata, durung wruh ing tata krama, yen sulaya panganggepe siya-siya, mundhak ewa, atine kang pada miyarsa.
Ywa kesusu, ngaku putrane si ibu, jroning kalbu, lamun durung ambeg merdu, yen ginuyu, marang wong kang pada ngrungu.
Ywa sumuci, ngaku wayahe si kaki, yen sajati, durung weruh ing leluri, yen tan yekti, karya ewa kang miyarsi.
(9) Ywa gumampang, ngaku wayahe si eyang, yen tan damang, alurane klayan terang, yen kasimpang, yekti bakal newu wirang.
PUPUH I
(1) Serat Nitimani punika, duk nalika murwenggita, jroning warsa lumaksana, tinengeran candra sangkala, rasaning janma kaesthi juga, *** (taun Jawi 1816).
Mangkya wau kang pustaka, ing karsa arsa tinata, kaewah ukaranira, kawewahan lan rinengga, duk kala mangriptanira, aniti pranata mangsa, almenak ing taun Jawa, purnama ing wulan sela, kuranthil ing wukunira, panuju ing mangsa sadha, tinengran candra sangkala, Raden Mas Aryasuganda, amandeng ngesti bathara, @@@ (taun Jawi 18210.
PUPUH II
Ingkang kinarya bebuka, kinantha petha saloka wangsalan tembung surasa, mung kinarya langgen driya, pralambang tumraping putra, kang supaya cinangua, mring weka kang maksih dama, ngularana kasebut ngandhap punika :
Witing luput : amarga saking kalimput, yen kadaut : sayekti amanggih puput, ywa katracut, dipunemut miwah nebut, mrih tan kerut, pa(2)karyanira kang patut.
Witing lepat : amargi saking kirang limpat, dadya mlarat, yekti datan manggih hurmat, yen kesrakat, yen kebat gonira tobat, mrih binirat, ngegungna manising ulat.
Witing siku, ya saking pugaling laku, yen katleku, tan dangu amanggih bendu, reh rinengu, ruwaten budi rahayu, akaton sumeh ing semu.
(1) Lamun tandhing, marsudiya ing tyas ening, mamrih ering, kang supadi tan kajungking, den dumeling, gone ngliling dimen eling, yen wus takluk, ywa kongsi diengkuk-engkuk.
dalam bahasa indonesia :
Apabila sedang bertanding, usahakanlah hati tetap hening, agar konsentrasi tetap terjaga, supaya tidak terkalahkan. Yang dimaksud dengan “bertanding” dalam hal ini adalah analogi dari persetubuhan
(2) Yen wus menang, manggalih aja gumampang, kudu nimbang, mrih langgenge denya numpang.
Manungseku, kudu buru winahyu, kanthi laku, lan patitising.
De manungsa, kudu ngupaya nugraha, pametira, wit saking brata laksana.
(3) Empan mapanipun makaten : yen lelewa, den bisa anuju prana, mamrih rena, lan sukaning kang miharsa.
Yen sembrana, den prayitna sampun lena, lamun ina, sayekti amanggih weda.
Apabila ceroboh, waspadalah jangan sampai lengah, sungguh sangat menyakitkan. Kata ceroboh maksudnya adalah dalam konteks persetubuhan agar tetap waspada di dalam melakukan hubungan seksual sehingga tidak mengalami hal-hal yang tidak diharapkan.
Lamun cuwa, sampun kawustareng netya, wrananana, ing suka dhanganing karsa, kang supadya, datan amanggih dirgama.
Apabila tidak puas, janganlah terlihat di wajah, tutupilah, dengan wajah yang ceria, agar supaya, tidak mendapat kesulitan. Tidak puas yang dimaksud disini, masih dalam konteks hubungan seksual yaitu keadaan dimana salah satu pihak belum mencapai titik kepuasan atau orgasme.
Lamun gela, jroning nala sampun daga, sengadiya, langkung condong ing wardaya, pamrihira, kang pinanduk tan legewa.
Apabila kecewa, janganlah membrontak dalam hati, niatilah, untuk lebih berlapang dada, dengan harapan, agar ketidakpuasan tidak berlarut-larut. Kecewa dalam ungkapan ini masih dalam konteks hubungan seksual dan tidak mencapai kepuasan.
Lamun rengu, aja kadulu ing semu, yen kaliru, graitane kang tinuju, kang saestu, anampi pamanggih dudu.
Lamun lingsem, ing gunem aja katingkem, lamun amem, yekti katara ing klecem.
Apabila terjerat rasa malu, janganlah membisu, karena bila berdiam diri, niscaya akan terlihat di wajah. Ketika seorang laki-laki mengalami kegagalan di dalam berhubungan seksual karena hal-hal tertentu, maka disitulah dia akan merasa sangat malu.
Lamun supe, panggalih sampun kalimpe, amrih sae, supadi tan manggih dede.
(4) Lamun harda, sampun dadra murang krama, mrih widada, pakartine kang utama.
Apa bila punya keinginan, janganlah lepas kendali menerjang etika, agar selamat, utamakanlah sikap luhur. Keinginan maksudnya adalah dalam hal ingin melakukan hubungan seksual maka jangan sampai lepas kendali, harus tetap memperhatikan etika.
Yen murina, angakaha ucal cihna, karya tandha, dimen antuk manuhara.
Yen sumungku, jro kalbu den ambeg sadu, kang saestu, antuk saening panemu.
Lamun bekti, jro ati den ambeg suci, kang supadi, antuka panganggep yekti.
Yen sumembah, den genah tancebing manah, dipunkekah, supada angsal berekah.
Lamun sujud, aja kalimput ing limut, pamrih turut, saening lampah tan kerut.
Yen alabuh, ywa tambuh manggih pakewuh, mamrih bakuh, yen tinempuh datan keguh.
Lamun labet, den memet uninga ubet, mrih tan ribet, yen kasrimpet ing rwruwet.
Yenn Anglaras, Panggagas aja sampun kabrangas, dimen awas, ing pamawas datan tiwas.
Jika sedang menikmati sesuatu, janganlah kesadaran terlena, agar tetap siaga, kewaspadaan tak akan tiwas. Maksudnya adalah jika sedang berada dalam kenikmatan berhubungan seksual, kewaspadaan dan kesadaran diri haruslah tetap dijaga, supaya tidak menemui tiwas atau maut.
(5) Lamun purik, ywa elik weruha sarik, mamrih apik, ywa kongsi amanggih serik.
Lamun mutung, ywa liwung kongsi kadarung, yen jinurung, yekti suwung dadya bingung.
Yen kaduwung, ywa jetung panggalih kadung, yen delarung, ing wekasan dadya kumprung.
Lamun mupus, ing pamawas dipunalus, dimen tumus, kulina panggawe bagus.
Lamun lara, den pasrah marang Hyang Suksma, yen katrima, tantara yekti nirmala.
Lamun sedih, den bisa memisah amrih, nanging rasa, malayu duhkitanira.
Lamun susah, den betah ambeg tuminah, mbok kaprenah, nugrahen Hyang saben murah.
Lamun getun, ywa bebangun ati gumun, mbok wulangun, kanduk ing ati ngungun.
Budi eram, karya limput temah kewran, ywa kataman, wimbuh kadeng kang budiman.
(6) Ywa sumengguh, mundak kataman kang tambuh, dadya wimbuh, wimbaning budi pangrengkuh.
Ywa mamengku, lamun tan pranaweng kalbu, yen kasluru, rinetu panampa eru.
Aja wangkot, yen pedhot pandadi abot, bedhat momot, wekasan tan bisa kamot.
Ajwa lumuh, yen binobot ing pakewuh, dadya wimbuh, abiprajaning tumuwuh.
Aja rikuh, yen rinaket rapu kang suh, mundak kisruh, gawe lingsem kang pada wruh.
Ywa piangkuh, yen tan wruh benering kewuh, temah tinutuh, tetuladan bangsa pajuh.
Ajwa dangkal, yen tan wruh kleru ing akal, yen katragal, dadine kaacan nakal.
Aywa doso, yen tan wruh benering bodho, temah loso, ingaranan bangsa sato.
Yen dedasih, ywa wigih panggawe luwih, ingkang pinrih, mamrih winalesa ing sih.
(7) Lamun tresna, den murina labetira, mrih santosa, widadaning abipraja.
Yen suwita, den sedya apuruhita, mrih binuka, uninga tata silaraja.
Lamun abdi, kudu bisa nyimpen wadi, dadya sidi, bakal eruh rungsiding Widdhi.
Yen santana, den rila ing labet tama, mrih tan kemba, ing lyan anggone mandarsana.
Lamun batur, kedah anut lan tumutur, amrih jujur, tan siningkur para luhur, yen tan mulur, kabanjur tan wruh ing edur.
Lamun ngenger, den ater ambeg blater, wruha teter, pakarywan ywa kongsi ngether.
Yen angunjung, neng ngarsaning pra linuhung, srana irung, mrih nganaken tandha dekung.
Yen sejarah, mrih astana janma pejah, den cecegah, karenanira bangsa dyah, yen sinarah, temah siku manggih tulah.
Yen cecegah, den betah gonira ngampah, nganggah-anggah, yeku pakarti luamah.
Selama mengendalikan diri, bersabarlah menahan hawa nafsu, lepas diri tanpa kendali, merupakan prilaku serakah. Orang harus belajar mengendalikan nafsunya (nafsu dalam konteks ini adalah nafsu birahi) agar tidak kelepasan sehingga menyebabkan sesuatu yang tidak baik.
Yen sumungkem, den kojem nganti tumanem, dadya tegen, amrih antuk kang pangalem.
Yen sembahyang, ywa ginggang neng tepeting Hyang, mrih sumimpang, panggodhaning para dhayang.
Lamun salat, ulat madhepa ing keblat, jroning niyat, nut srengat Nabu Mukhamad.
Aja cihak, ngaku anake si bapak, mbok kacentak, yen pangawruh durung pepak.
Lamun mamak, panganggone cihak-cihak, yeka nracak, weh cingak kang pada cedhak.
Aja ciya, ngaku putrane si rama. Yen sanyata, durung wruh ing tata krama, yen sulaya panganggepe siya-siya, mundhak ewa, atine kang pada miyarsa.
Ywa kesusu, ngaku putrane si ibu, jroning kalbu, lamun durung ambeg merdu, yen ginuyu, marang wong kang pada ngrungu.
Ywa sumuci, ngaku wayahe si kaki, yen sajati, durung weruh ing leluri, yen tan yekti, karya ewa kang miyarsi.
(9) Ywa gumampang, ngaku wayahe si eyang, yen tan damang, alurane klayan terang, yen kasimpang, yekti bakal newu wirang.
PUPUH III
Ing sasampunipun amratelakaken
pasemon tembung paribasan kasebut ing ngajeng wau, sedya
andumugekaken panganggitipun kadapur cariyos, pinindha kadi
sujanma sami gegineman satunggal, asesilih nama Sang
Murwenggita, ingkang satunggal asilih nama Juru patanya.
Anggenipun sami rermbagan kados ing ngandhap punika :
Juru Patanya :
“Sarehning kula sawetawis lami,
anggen kula mboten pepanggihan kaliyan sampeyan supami
lajeng kersa jenak lelenggahan saiba kados menapa badhe
bingahing manah kula.”
Sang Murwenggita :
“Kisanak mbok inggih prayogi.”
Juru Patanya :
“Ing sayektosipun kula badhe
nyuwun
(10)
pitulung ing sampeyan, mugi-mugi
karsa andhanganaken lajeng amudari dhateng reruweding
gagasing manah kula. Prasajanipun ing wektu samenika, mbok
menawi ingkang binasakaken saweg nedheng birai, dene
thethukulaning manah kula, teka kadereng kumedah-kedah
kepengin pala krami amomong pawestri, nanging tansah
mangu-mangu. Dereng saged angleksanani, karana dunungipun
wanita punika, upami papan badhe pandhedhering wiji,
saestunipun kedah milih ingkang prayogi. Wangsul titikan
pamilihipun candraning wanita ingkang awon utawi ingkang sae
ing warni, solah tenaga, tuwin pasemon ingkang kados punapa
?”.
Peranan wanita itu ibarat lahan
untuk menabur benih, sehingga haruslah memilih lahan yang
bagus. Dalam melakukan hubungan seksual, maka haruslah
dicamkam bahwa hasil dari perbuatan itu adalah adanya seuatu
mahkluk baru sehingga tidak boleh dilakukan sembarangan dan
pasanganyapun harus dipilih baik-baik.
Sang Murwenggita :
“Mugi-mugi sampun andadosaken
cuwaning panggalih, kula boten saged anglegani ing karsa
sampeyan, karane dereng nate sarawungan dhateng pangawruh
ingkang makaten wau. Candraning wanita ingkang pantes kaagem
garwa padmi (bojo), utawi pantes kaagem garwa paminggir,
kalanggenan (selir), punika kacariyos kasebut wonten
salebeting Serat Iman Supingi, ingkang awon utawi ingkang
sae kados punapa, punika boten terang, margi kula dereng
nate maos Serat Iman Supingi wau. Dene bilih kersa
amirengaken kula acariyos, wonten piwulang medal saking para
sepuh, tiyang dusun tanah pareden kaanggep utawi boten,
gumantung wonten ing karsa sampeyan, pratelaning piwulang
kados ing ngandhap punika :
Para sujanma priya yen
badhe amilih dhateng wanodya, kaagem pantesing pala krami,
anyeplesana dhateng suraosing tetembungan tiga : bobot,
bebet, bibit.
Kaum Pria yang bermaksud
memilih sorang wanita untuk dinikahi, hendaknya
memperhatikan tiga hal : bobot, bebet, bibit. Untuk
mempersiapkan keturunan yang baik, maka harus juga dicari
pasangan (wanita) yang baik dan memenuhi criteria-kriteria
tertentu. Dalam budaya Jawa, ada tiga hal paling penting
yang harus diperhatikan yaitu ; bibit, bebet, dan bobot.
Dununging tembung tiga wau
makaten : ingkang rumiyin tembung bobot, pikajengipun
amiliha wanita ingkang asli, dene titikanipun saking turun
sarasilah bapakning pawestri ingkang
Pertama kata bobot, maksudnya
pilihlah wanita sejati. Wanita yang kita pilih hendaklah
seorang wanita yang memiliki garis keturunan orang-orang
terpilih...
(12) badhe kapendet wau.
Ing sapanginggil kadosta :
Darah bangsaning ngawirya,
tegesipun trahing para luhur, ingkang taksih kadrajatan.
Darahing agama, tegesipun
trahing para ngulama, ingkang alim ahli kitab-kitab.
Darahing ngatapa, tegesipun
trahing para pandhita, ingkang alal brata leksana.
Drahing sujana, tegesipun
trahing para linangkung, ing olah pangawikaning budi dhateng
kalimpatan utawi kawicaksanan.
Darahing ngagune, tegesipun
trahing para pinter, ingkang olah dhateng kabangkitan.
Darahing prawira, tegesipun
trahing para prajuritr, ingkang olah dhateng kawanteran,
sarta ingkang asub ing kasudiranipun.
Darah supatya, tegesipun
trahing para tani ingkang wekel sarta temening manah.
Ingkang kaping kalih tembung
bebet, inggih punika
(13) tumrap dhateng bapakning
wanita, ingkang badhe kapendet wau amiliha darah ing
supudya, tegesipun : bangsa sugih arta utawi raja brana
sarta ingkang taksih kathah kabegyanipun.
Juru Patanya :
“Kisanak, nyuwun pangapunten,
kula anyelani cariyos sakedhap, bapakning pawestri dumugi
kaki buyut, canggah, wareng, teka mawi katitik ing atasipun
tumraping jejodhowan punika badhe perlu kangge punana?.”
Sang Murwenggita :
“Karsanipun para sepun tanah
pareden ingkang makaten wau menggah patitisipun kula dereng
terang, amung kinten-kinten mbok manawi inggih titikan lare
pawestri, badhe kapendet wau, pikajengipun amiliha darahing
winahyu”.
Juru Patanya :
“Inggih leres, yen ingkang
badhe karabi : bapa, kaki, buyut, canggah, warengipun.
Wangsul ingkang badhe kapendet bojo wau anakipun,
(14) prabeda punapaa kaliyan
anaking para bodho, sudra lan apes, angger sae ing warni,
utawi seneng ing pamilihanipun.”
Sang Murwenggita :
“Punika kekilapan, kula
boten terang ingkangdados karsanipun, menggah nalar ingkang
makaten wau, sarehning boten kenging tiningalan kaliyan
netra, pramila anitik sarasilah darajatin bapa, ing
sapangingil, gerbanipun, sinten manungsa ingkang winahyu,
sayekti awit saking rahayuning batos, dene rahayuning batos
punika terkadang kapinujon, asring pinareng tumus mahanani
dhateng wewatekaning atmajanipun.”
sehingga cara paling mudah
ditempuh adalah dengan melihat garis silsilah leluhur sang
ayah, karena wahyu cenderung jatuh pada orang-orang yang
memiliki keseimbangan batin, dan keseimbangan olah batin
tersebut biasanya mampu menurun pada sang anak.
Juru Patanya :
“Yen makaten inggih leres,
pancen prelu anitik dhateng sarasilah ing bapa wau. Ingkang
kasebut ing nginggil saweg kalih tembung, bobot kaliyan
bebet, jangkepipun tigang tembung bibit, punika pikajengipun
kados pundi?.”
(15) Sang Murwenggita :
“Ing sapunika kula
dumugekaken tembung bibit, pikajengipun, tumrap dhateng
wanita ingkang badhe kapendet wau, amiliha ingkang sae
warninipun saha ingkang kathah kasagedanipun.
Sekarang sampai pada istilah
bibit, maksudnya, wanita yang akan dipilih, hendaklah yang
rupawan sekaligus memiliki banyak ketrampilan.
Dene candra wewijanganing warni
ingkang sae, saestunipun ing Serat Iman Supingi inggih
sampun boten kekirangan, ananging sarehning para sepuh
padusunan tur pareden,teka mdamel candra warni tuwin
pasemoning wanita tanpa wewaton, bok manawi medal saking
gagasaning piyambak kados ing ngandhap punika :
Warni bongoh, punika prabaning
angga ingkang pupuk, ingkang mengku pangraos lega, pawestri
ingkang makaten wau, mbok menawi saged ambuka don tuju
langgening asmaragama.
Sengah, punika prabaning wadana
ingkang pupuk, ingkang mengku pangraos sedhep, estri ingkang
makaten wao bok manawi saged ambuka panggendaming
(16) asmara tantra.
Dlongeh, (semu anggendonaken
gujeng) punika sesemuning wadana tuwin liringing netra :
ingkang amengkoni prabaning ambeg temen, tuwin legawa,
ambuka tanduk angresepaken tuwin prasaja, inggih punika bok
manawi kawontenan ingkang kasebut saged anggendam panduk
senenging pramana.
Ndenakaken (edemipun
angecakaken), punika pasemoning wadana liringing netya tuwin
kedaling wicara, ingkang amengkoni prabawaning panggalih
seneng tuwin kepareng, ingkang ambuka tanduk angkuning
rumaketipun, mbok manawi punika kawontenan ingkang kasebut
saged ambuka panggendaming, asmara nala.
Sumeh, punika pasemoning wadana
ingkang kapraban ambeg sareh, mbok menawi punika kawontenan
ingkang kasebut saged ambuka panggendaming asmara nada
(dana).
(17) Manis, punika seneng ing
guwaya utawi kocak ing paningal ingkang amengkoni
prabawaning pramana wingit, inggih punika mbok manawi
kawontenan ingkang kasebut saged ambuka panggendaming
asamara tura.
Mrak ati, punika panduk ing
tingal, tuwin wicara ingkang amengkoni prabaning pramana
wingit, inggioh punika mbok manwi kawontenan ingkang
kawastanan saged ambuka panggendaming asmara turida.
Jatmika, punika ingkang
amengkoni heneng heninging cipta ingkang ambuka sorot
serating pramana, inggih punika mbok menawi kawontenan
ingkang kasebut saged ambabaraken prabaning prabawa.
Susila, punika ingkang kedaling
ilat panduk ing mripat, polah ing solah bawa, amengkoni budi
temen trima legawa, ingkang nukulaken panduk empaning
pangira, benering panuju, tepaning sujana,
(18) anggendam graita ing
nugraha, ambuka wenganing mangsa kala, tinamu-tamu atining
tata krama, inggih punika mbok manawi kawontenen ingkang
kasebut sampun ginenglanggening pramana.
Kewes, punika pratitis,
panduking wicara. Mbok manawi punika kawontenan ingkang
kasebut saged amengkoni prabaning praman.
Luwes, punika cucut lemesing
wicara tuwin solahing hangga, ingkang amengkoni prabaning
pramana.
Gandes, punika wedaling wicara
tuwin solahing raga, ingkangamemalatsih, mbok manawi punika
kawontenan ingkang kasebut amengkoni prabaning pramana.
Demes, punika ayem panduk
wedaling wicara tuwin lenggahing trapsila,
(19) mbok manawi punika ingkang
kasebut amengkoni prabaning pramana.
Seded, punika dedegan ingkang
inggil ingkang isi, tegesipun ingkang sambada.
Lecir, punika dedegan inggil
ingkang isi.
Wire, punika sarira alit
ingkang singset.
Gendruk, punika badan ageng
ingkang kendo nanging isi.
Srenteg, punika dedegan ageng
ingkang kirang inggil kaliyan agengipun, ananging isi tuwin
kenceng.
Lenjang, punika badan ingkang
alit nanging panjang.
Rangkung, punika dedegan
ingkang inggil kiriang isi semu ngrupak.
Juru Patanya :
“Menggah plompanging polatan
kula tuwin anjenger deleg-deleging patrap kula ing
(20) sadangu-dangunipun,
sampeyan nyariyosaken bab candraning wanita, anggitanipun
para pinisepuh ing dusun tanah pareden, punika sakalangkung
andadosaken gumuning manah kula. Bab tembungan utawi suraos
sampun pinten-pinten yasanipun para sujana, ing jaman
kina-kina ingkang kula sumerepi, dereng wonten pisan-pisan
ingkang ngemperi, kados anggitan ingkang sampeyan
cariyosaken punika, kenging binasakaken elok utawi langka,
dene wonten anggitan ingkan makaten, kadosta :
Anyebutaken warni bongoh,
punika prabaning angga ingkang pupuh, serta saged ambuka don
tuju langgening asmaragama.
Warni sengoh, punika prabaning
wadana ingkang pupuk sarta saged ambuka panggendaming asmara
tantra.
Manis, punika ingkang
amengkoni
(21) pramana wingit.
Mrak ati, punika ingkang
mengkoni prabaning pramana wingit.
Woten malih ingkang angka 8
anyebutaken jatmika, punika ingkang amengkoni
heneng-heninging cipta, sadaya wau wawatonipun mendet saking
punapa?, dene teka saged amestani, ingkang mengkoni warni
pasemon, sarta ingkang dados gumuning manah kula dene wonten
sesebutan heneng-heninging cipta. Kaliyan malih ingkang
angka 9, anyebutaken susila punika ingkang kedaling ilat,
panduking mripat, polahing solah bawa amengkoni budi, temen,
trima, legawa, ingkang nukulaken panduk empan ing pangira,
bener ing panuju, tepaning sujana, anggendam grahitaning
nugraha, ambuka wenganing mangsa kala, tinamu-tamu atining
tata krami, inggih punika sampun gineng langgening pramana.
Ingkang andadosaken saya wimbuh
eraming
(22) manah kula, dene wonten
ngangge tetembungan ingkang makaten punika wewatonipun ukara
: mendet saking punapa, saking remen kula dhateng
tetembungan wau, awit manawi kamirengaken kedaling lesan
sekeca, dados sanget anggen kula amarsudi, murih sageda
sumerep tegesipun, dangu-dangu njungkel kraos mumet meksa
dereng saged mangretos, wekasan nyuwun pitulungan ing
sampeyan, mugi kersaa merdeni kados pundi suraosipun tembung
wau.
Sang Murwenggita :
“Sarehning kula ingkang cariyos
tembung wau, saestunipun rak inggih sampun apil mawi sanget,
suprandosipun ing suraos dereng saged mangretos, dene yen
sampeyan kedereng kedah uninga werdinipun tembung utawi
suraos sadaya wau, benjing yen wonten tiyang pejah saged
gesang malih. Ketangletna mbok manawi punika saged njarwani,
kala wau kula sampun matur (23) cariyos tanpa wewaton medal
saking gagasan, ananging kauningana ing sampeyan wontenipun
gagasan wau medal saking pinisepuh ing tanah pareden,
kulinanipun ing lampah ngambah laladan sepi mbok manawi
binuka ing mangsa kala, saking warah ingkang tambuh
mangsanipun dumunung ing teja maya, momor jawata sinambi
amudar weda memulang mring ajarira. Pramila wiyosipun
tembung lan suraos ingkang makaten wau mbok manawi taksih
caruk kamomoran saged uninga, yen dereng ngambah ing ngendra
bawan.”
Juru Patanya :
“Menggah kinten-kinten sampeyan
punika kisanak, kados-kados inggih leres pancen kamomoran
tembung pangandikaning jawata, ing mangke sarehning prelu
badhe tumunten kula leksanani, mugi-mugi arsaa paring rembag
tembung ing ngarcapada, sarta ingkang turut nala-nalaripun,
supados kula (24) sagda mangertos kados pundi ingkang wajib
linampahan?.”
Sang Murwenggita :
“Kinsanak, inggih prayosi,
sayektosipun anggen kula amratelakaken cariyos sedaya wau,
amung minangka kangge ancer-ancer. Serta kangge ngrameni
anggenipun sami rerembagan, sejatosipun ing palakrami, boten
kadamel prelu, ndadak mratitisaken candraning wanita, awit
dumunungipun makaten :
... Kadosta manising ulat,
indah ayuning warni, dhemes prigeling solah, punika among
kangge minangka sarana amemalat dhateng thukuling
sesenenganipun para priya, pramila lajeng wonten pralambang
tembung paribasan : “bebukaning pala krami dudu banda dudu
rupa amung ati pawitane”, tegesipun dudu banda punika sanes
kasugihanipun raja brana, dudu rupa tegesipun sanes ayu
indahing warni, ingkang binasdakaken condong utawi jodho.
kecancitan fisik seringkali
hanya didudukkan sebagai wahana kepuasan kaum laki-laki,
oleh karena itu ada peribahasa : “bebukaning pala krami dudu
banda dudu rupa amung ati pawitane”, (permulaan pernikahan
bukan harta benda dan rupa, hanyalah hati sebagai titik awal
keberangkatan). Yang dimaksud bukan harta adalah bukan
kekayaan, sedangkan bukan rupa adalah bukan kecantikan
wajah, yang kemudian disebut sebagai jodoh. Untuk
mengesahkan suatu hubungan seksual, maka pasangan haruslah
melewati tahap pernikahan. Pernikahan tersebut menyatukan
dua pribadi yaitu laki-laki dan wanita dalam ikatan yang
abadi. Supaya tidak mengalami penyesalan, maka pernikahan
haruslah didasari dengan hati sesuai dengan peribahasa
tersebut, meskipun ada faktor-faktor lain yang juga harus
menjadi bahan pertimbangan.
(25) ingkang binasakaken
condong utawi jodho.”
Punika amung dumunung
wonten seneng parenging panggalih, runtut utawi rujuk
kalih-kalihipun, temahan sami angrumentah ing bapak kaliyan
anak, dene pangangepe bapa binasakaken kencana wingka,
pikajengipun tembung makaten wau tur kawujudanipun warni
wingka, katon warni kencana.
Genahipun makaten :
sejatosipun warni awon suprandosipun katingal sae, dene
empan mapanipun suraos ingkang makaten wau kadosta : wonten
sujanma priya, seneng dhateng wanudya, ing kamangka wanita
wau dedegipun inggil tur kera, yen lumampah mayuk-mayuk
kados enggrang, punika priya ingkang seneng wau, boten
kapanduk ing manah gela utawi cuwa, kepara lajeng rumntah
ing kawelasanipun. Dene sirung anjenggureng ing ulat, seru
kasaring
Hal itu hanyalah terdapat pada
kecocokan hati, kesesuaian dan keharmonisan antara keduanya,
hingga kemudian menumbuhkan kasih sayang antara ayah dan
anak, sayang ayah lantas mengiaskan sebagai kencana wingka,
maksud dari ungkapan tersebut adalah meskipun kenyataan
wujudnya berupa wingka (loyang) namun tampak seperti kencana
(emas). Dalam memandang pasangan hidupnya, perlulah diingat
ungkapan kencana wingka. Walaupun wujudnya hanyalah loyang,
akan tetapi tampak seperti emas. Jadi meskipun pasangan
hidup tidaklah mempunyai rupa yang sempurna, akan tetapi
haruslah bisa dilihat kecantikan yang terpencar dari
hatinya.
(26) pamicara, priya ingkang
seneng wau boten kapanduk ing manah elik, mutung, kapok
kawus tuwin merang, patrap ingkang makaten wau kepara
amimbuhi seneng utawi asihipun.
Kosok wangsulipun ing tembung
paribasan makaten : wong sengit ora kurang ing pamada, empan
mapanipun makaten kadosta : priya sengit dhateng wanodya,
tur gandes yen micara, demes luwes ing tenaga, punika boten
dadosaken ena, malah amimbuhi ewa, trekadang lajeng gela.
Dene sesaminipun yen katrapaken dununging pagesangan makaten
kadosta : wonten sujana bilih ing kelahiran, tiningalan ing
kathah sampun kawilang mukti lan wibawa, liripun : anenedha
tuwin sandang pangangge mboten kekirangan, wonten ing wisma
ngedingkrang, ongkang-ongkang lenggah ing kursi goyang,
sarta mawi ngunjuk wedng punika dereng kintenan yen
kadunungan trimah, lan senenging manah, trekadangan
badanipun nglayung
(27) saya kera, saking
anggenipun ngrantes, ngraosaken daya-daya sageda langkung
malih, saking ingkang sampun linampahan wau, trekadangan
lajeng wonten ingkang lajeng nglambrang, kasurang-surang
berangkangan mudhun jurang, munggah anggraning arga lan
anusup wana-wasa, lelana jajan praja. Dene munggah tumraping
kasenengan priya lan wanodya ing atasing jejodhowan wau,
mbok manawi boten aprabeda.
Wonten malih saksi minangka
prtandha tur kayekten, sandhunganipun sampeyan piyambak
inggih sampun nate mangguli, dhateng lelampahaning para
priya, ingkang aneh kang gumunaken kadosta sampun mengku
garwa utawi kelanggenan tuwin selir, tur indah ing warni
tuwin asli, sandunganipun inggih wonten ingkang warni bongoh
utawi sengoh, garwa utawi seliripun wau. Ingkang
anggumunaken teka lajeng kagungan penggalih ngupados malih,
mendhet wanodya tur mboten warni boten asli. Yen tiningalan
(28) dening priya senesipun,
boten pisan tumimbang kaliyan garwa, tuwin selir
kelanggenanipun ingkang sampun winengku wau, ing wasana
menggah sih lan remenipun ngantos saged ngawonaken.
Juru Patanya :
“Ki sanak, kula ngengetaken
ketrecetipun anggen sampeyan cariyos yen tetelanipun garwa,
selir, utawi kelanggenan wau bilih wonten ingkang warni
bongoh utawi sengoh, kacariyos warni bongah punika saged
ambuka don tuju langgening asmaragama, utawi warni sengoh
punika kacariyos saged ambuka panggendaming asmara tantra,
bilih estu makaten, saiba ingkang priya anggenipun kasengsem
tansah salulut, teko boten makaten kepara lajeng siningkur,
punika kados pundi?.”
Sang Murwenggita :
“Bongoh, sengoh punika anggen
kula mewahi piyambak, amung kangge upami kemawon, yen nitik
saben seksi-
(29)seksi
sadaya upami ingkang sampun kapratelakaken ing nginggil wau,
tetelanipun palakrami punika terang yen gumantung wonten ing
kasenenganing priya piyambak-piyambak, dene kasenengan wau
boten kenging katemtokaken, liripun makaten kadosta indah
ayuning warna boten temtu ndadosaken kasenenganing priya,
Perkawinan itu hanyalah
berdasarkan kesenangan pribadi kaum lelaki masing-masing,
sedangkan rasa sukanya tidak dapat ditentukan, artinya
kecantikan wajah ternyata belum tentu menimbulkan rasa cinta
kaum priya. Perkawinan merupakan atau ikatan yang sakral,
sehingga untuk melaksanakannya harus dicari pasangan yang
benar-benar tepat. Artinya, tidak bisa dilihat hanya dari
fisiknya saja.
wondene candraning wanita
ingkang sampun kapratelakaken ing nginggil wau amung kangge
ancer-ancer minangka penget dhateng para muda ingkang dereng
winasis pamawasing ulat liring utawi guyu nuksweng semu, supados angatos-atos
ing pamilihipun, karana menggah dununging wanita punika
tumrapipun dhateng priya, binasakaken amung, swarga nunut
liripun makaten yen pinuju saged karaharjan ing gesangipun
pikantukipun wanodya wau amung saged mimbuhi dhateng seneng
tuwin asringing
(30)
prajanipun, yen pinuju lepat ing pamilihipun mangka angsal
wanita ingkang ambeg durta, tegesipun pawestri ingkang awon
kelakuwanipun punika badhe saged narik damel sangsaraning
priya,
Berhati-hatilah dalam memilih,
sebab kedudukan wanita bagi kaum priya diibaratkan swarga
nunut maksudnya adalah tatkala hidupnya diliputi kebahagian,
posisi wanita seolah hanya sebagai pelengkap hiasan
kebahagiaan tersebut, sedangkan bila sang priya salah
memilih, artinya wanita yang didapat bukan tergolong wanita
baik, maka akan menimbulkan kesengsaraan bagi si pria itu
sendiri. Bagian ini adalah sikap manusia Jawa dalam hal
kedudukan wanita bagi kaum pria dalam hal rumah tangga
(termasuk didalamnya urusan hubungan seksual) yaitu
diibaratkat swarga nunut neraka katut yaitu jika suami
memberikan hal-hal yang baik maka sang wanita juga pasti
akan menikmati segala hal yang baik juga.
pramila saderengipun
kapendhet garwa sasaged-saged kapratitisna ing pamilihipun,
awit bilih sampun kalajeng rumentah ing sih kawelasan tuwin
katresnan, saestu awrat ing pambiratipun, temahan badhe
ngengetaken dhateng tumempuhing kasangsaran.
Oleh karena itu sebelum
menentukan pilihan terhadap pasangan hidup hendaklah
berhati-hati dalam memilih, karena bila terlanjur maka cukup
sulit mengatasinya, akhirnya malah sering menimbulkan
ketidakbahagiaan. Jika ingin berhubungan seksual, alangkah
baiknya jika pasangan sudah terikat dalam ikatan pernikahan,
dan karena sifatnya yang sakral maka diharapkan jangan
sampai salah memilih serta berhati-hatilah karena dampaknya
sangat besar bagi kelanjutan kehidupan. ..
Ing mangke kula nandukaken ing
pamuji tumrap ing sampeyan, sarta para muda jejaka ingkang
saweg nedheng birai, punika amung minangka dadosa kekudangan
ing tembe yen palakrami, mugi-mugi wontena sih pariparmaning
Pangeran Kang Maha Kuwasa,
jinurung ginanjara krama antuk
wanodya ingkang indah ing warni, sarta pantes ing solah bawa
lan ambeg tepa ing rasa, tuwin dana ing tepa
(31)
utawi ingkang temen tobatipun rila dhateng ing atasing
kasaenan, sabab kalakuwaning wanodya ingkang makaten wau
watak lajeng kasaenan sarta kinurmatan ingkang kakung, awit
pambekaning wanita ingkang makaten punika angrabasa dhateng
bebudhening priya ingkang lajeng saged nukulaken dumateng
rumentahing kawelasan tuwin katresnan.
wanita yang cantik baik lahir
maupun batin, wanita yang demikianlah yang dihormati oleh
setiap laki-laki. Seorang wanita dengan modal kecantikan
lahir batin sesungguhnya akan mampu meruntuhkan dinding hati
laki-laki yang ada di hadapannya akan bertekuk lutut
menyerahkan segenap cinta dan kasih sayangnya. Buadaya Jawa
memandang tinggi posisi wanita. Ada suatu sikap dalam hal
memandang soerang wanita yaitu dari kecantikannya, bukan
hanya dari segi fisik tetapi juga dari kecantikan hatinya
(cantik lahir dan batin), dan wanita yang memiliki
kecantikan lahir dan batin itulah yang menjadi istri dambaan
setiap pria untuk menjadi pasangan hidupnya.
Juru Patanya :
“Amit kisanak, kepareng kula
nyelani sakedhap, kados pundi suraosipun pitembungan tigang
bab nginggil wau :
Tepa ing rasa.
Dana ing tepa.
Temen tobatipun rila, dene teka
gadhah suraos ngrabasa dhateng bebudining priya, ingkang
lajeng nukulaken dhateng rumentahing kawelasan tuwin
katresnan, lo punika kula dereng mangretos.
(32) Sang Murwenggita :
Kisana, pitembungan tiga ing
nginggil wau, wewijanganipun makaten :
Tepa ing rasa (rasa tepa)
punika pikajengipun sageda sumingkir saking lumuh tuwin
rikuh ing loyan, sabab yen boten kadunungan tepa ing rasa
(rasa tepa) wau sok ngawontenaken watak iren tuwin meren,
ingkang pandukipun lajeng drengki.
Tepa ing rasa maksudnya mampu
menghindarkan diri dari sikap benci terhadap orang lain,
karena jika tidak memiliki sifat tersebut terkadang
menimbulkan watak iri yang ujungnya adalah kedengkian. Dalam
konteks pengajaran mengenai seks, hal yang paling penling
utama untuk diperhatikan adalah bagaimana cara memilih
qwanita yang baik agar kehidupan rumag tangga beserta
seluruh aspek didalamnya dapat berjalan dengan lancar. Oleh
sebab itu ada beberapa ciri-ciri wanita yang ideal sebagai
pasangan agar tujuan hidupnya dapat tercapai.
Dana ing tepa, punika
pikajengipun sageda sumingkir saking panyaru tuwin
panyikuning liyan, sabab yen boten kadunungan dana ing tepa
wau, asring ngawontenaken watak : dahwen tuwin salah open
ingkang pandukipun lajeng dados srei.
Dana ing tepa, artinya mampu
menjauhkan diri dari hasrat menyakiti serta menyengsarakan
orang lain, sebab bila tidak memiliki sifat tersebut,
cenderung memunculkan watak serakah yang akhirnya menjelma
menjadi jahat.
Temen tobatipun rila,
punika pikajengipun tobat ingkang kalebetan temen lan rila.
Pramila pikantukipun pawestri ingkang makaten wau lajeng
kinurmatan ing kakung.
Temen tobatipun rila, artinya
taubat yang dilandasi kesungguhan dan keikhlasan, sehingga
seorang wanita yang mampu bersikap demikian akan disegani
oleh setiap laki-laki.
(33) kados pundi kisanak punapa
sampun terang?.”
Juru Patanya :
“Menggah saking panampining
manah kula inggih sampun terang kisanak, suwawi kula aturi
ndumugekaken malih anggen sampeyan nglahiraken pamuji wau.”
Sang Murwenggita :
“Inggih kisanak, ing
sasampunipun pikantuk garwa wanodya ingkang kalakuwanipun
kados ing kasebut wau, menggah ing kasaenanipun mugi-mugi
saged angsal ingkang angeblegi, kados ingkang kasebut ing
Serat Darma Laksita, yen pangundang asmarangipun sageda
angsal kados ing Serat Candrarini.”
Juru Patanya :
“Kisanak kula nyelani, serat
kekalih Darma Laksita lanCandrarini punika anggitanipun
sinten, utawi nyariyosaken punapa, amargi kula dereng nate
sumerep sarta maos serat kekalih wau ?.”
(34) Sang Murwenggita :
“Menwi sampeyan tanglet serat
kekali wau bilih boten klentu kados-kados anggitanipun
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Mangkunegara ingkang
kaping sekawan upami kula pratelakaken ing ngriki badhe
kamonceran sanget, bilih sampeyan kersa badhe maos serat wau
prayogi tindak ing griya kula kemawon, lakar sampun
sawatawis lami anggen sampeyan boten tetuwi.”
Juru Patanya :
“Kisanak, prayogi sanes dinten
kemawon kula tetinjau sampun amung nyelani bab punika,
suwawi kadumugekaken kekudangan wau minangka dadosa pamuji
supados aemahana saged kadugen.”
Sang Murwenggita :
“Kula dumugekaken sedyaning
manah, anggengudang minangka pamuji kula
(35) wau kasaenan tuwin
pangudang asarangipun, utawi
samangke pamuji
kula malih mugi dageda angsal wanodya ingkang kadunungan
watek : sama, beda, dana, denda lan sageda uninga dhateng
panduling : guna, busana, baksana, lan sasana. Dene
pambeging pangrengkuh sageda angsal ingkang sawanda, saeka
praya lan sajiwa.”
Wondene wewijanganipun
tembung ing inggil wau ingkang rumiyin : sama, beda, dana,
denda.
Tembung sama tegesipun
pada, pikajengipun gadhahana wewatek asih dhateng sakehing
dumadi.
Beda tegesipun seje, geseh
utawi milah, pikajengipun anggadhahana watek kulina sarta
saged animbang, inggih punika putusing tepa.
Dana tegesipun nganjar,
pikajengipun gadhahana watek remen asung kasenengan
(36) tuwin kabungahan
dhateng sakehing dumadi.
Denda tegesipun kukum,
pikajengipun gadhaha watek putus lan patitis, pamiyak tuwin
malih nalar ingkang awon utawi dhateng ingkang sae,
anggenipun ngempan utawi mapanaken.
Berikutnya harapan saya semoga
anda mendapatkan wanita yang di dalam dirinya terdapat
sifat-sifat sama, beda, dana, denda. Kata sama, berarti
merasa sama, maksudnya memiliki rasa sayang pada sesama
mahkluk. Kata bedha, berarti tidak sama, maksudnya memiliki
sifat mengutamakan pertimbangan sebagai wujud kearifan. Kata
dana berarti memberi imbalan, maksudnya hendaklah memiliki
sifat mudah memberi kepada sesama. Kata dendha, berarti
hukum, maksudnya memiliki sifat teliti dalam menentukan
sesuatu sehingga tepat memilih mana yang baik dan yang
buruk. Dalam Budaya Jawa wanita dianggap sebagai “wadah”
dari benih yang akan ditanam oleh laki-laki dan karena itu
maka haruslah dicari wanita yang terbaik. Selain dari tiga
faktor utama (bibit, bebet, bobot), seorang wanita yang baik
juga harus memiliki sifat-sifat tertentu.
Ingkang kaping kalih kala
wau sageda uninga panduking guna, busana, baksana lan sasana
wewijanganipun makaten :
Guna tegesipun pangawikan
utawi kapinteran, pikajengipun sageda sumerep lan mangretos
dhateng wewenang lan wajibing lan pandamelaning pawestri.
Busana, tegesipun
pangangge, pikajengipun sageda uninga lan ngetrapaken
dhateng raja tdai darbekipun ingkang pancen kasandhang.
Baksana, tegesipun pangan,
(37)
pikajengipun sageda uninga lan nandukaken ubet kekayaning
laki ingkang pancen katedha.
Sasana, tegesipun dunung
utawi panggenan, pikajengipun sageda uninga tuwin memantes
lan memangun anggenipun gegriya.
Yang kedua, hendaklah memiliki
kepekaan terhadap guna, busana, baksana, dan sasana. Adapun
penjelasannya sebagai berikut :
-
Guna berarti ketrampilan atau kepandaian maksudnya adalah tanggap terhadap tugas dan wewenang sebagai seorang istri.
-
Busana berarti seorang wanita haruslah memiliki kepekaan terhadap penampilan serta pakaian miliknya secara proporsional.
-
Baksana berati pangan, maksudnya memiliki ketrampilan mengatur keuangan/penghasilan suami secara proporsional.
-
Sasana yang berarti rumah atau papan, maksudnya memiliki ketrampilan untuk mendekar dan menghias rumah dengan indah.
Selain sifat, wanita yang baik
juga harus dapat membuat dirinya terlihat menarik agar
laki-laki yang menjadi pasangan hidupnya tetap setia dan
tetap bisa menjaga hubungan (termasuk dalam hubungan
seksual). Hal tersebut dikarenakan pria dan wanita haruslah
senantiasa bekerja sama dengan baik untuk dapat
mempersiapkan segala hal demi menyambut kehadiran manusia
baru sebagai hasil dari hubungan seksual yang mereka
lakukan.
Ingkang kaping tiga kala
wau ambeging pangrengkuh ingkang sawanda, saeka praya lan
sajiwa, wewijanganipun makaten :
Sawanda, tegesipun sarupa,
sawangu utawi sawarna, pikajengipun sedya nyawiji badan,
empan mapanipun gadhahana ambeg pangrengkuhipun lan
rumeksanipun dhateng priya dipun kadosn rumeksa dhateng
badanipun piyambak.
Saeka praya, tegesipun
sawiji budi, pikajengipun gadhahana ambeg pangrengkuhipun
dhateng priya anedya nunggil kapti.
Sajiwa, tegesipun
satunggiling nyawa,
Yang ketiga adalah dalam hal
kesetiaan hendaklah memiliki sifat-sifat sawanda, saeka
praya, dan sajiwa, penjelasannya sebagai berikut :
-
Sawanda yang berarti serupa, sebangun, atau sewarna. Maksudnya, wanita tersebut bersedia menyatu tubuh dengan cara saling memahami, menjaga suaminya sama seperti menjaga dirinya sendiri.
-
Saeka praya artinya dapat menyatukan kehendak dengan kehendak suaminya yang tujuannya demi kebaikan, maka sang istri harus merasakan sebagaimana kehendak diri pribadi.
-
Sajiwa berarti sehati. Maksudnya adalah sikap istri terhadap suami sama seperti terhadap diri sendiri.
(38) pikajengipun gadhaha ambeg
pangrengkuhipun dhateng priya dipun kados dhateng nyawanipun
piyambak.
Kajawi ingkang kasebut ing
inggil wau, wonten malih wajibing pawestri ingkang sampun
apalakrami, pepiridan saking serat Pustaka Raja Weda inggih
punika piwulanganipun Sang Begawan Drawa dhateng putrinipun
peparab Dewi Rara Sarawasri, ingkang pawingkingipun dados
prameswarining Batara Aji Jayabaya ing Kediri, manawi kula
cariyosaken sedaya mindhak kemonceren, pramila amung badhe
kula petik saprelunipun kemawon pratelanipun kados ing
ngandhpa punika :
Menggah pawestri ingkang
sampun nambut silaning akrami, punika kedah netepi punapa
ingkang dados wajibing estri kathahipun tigang pangkat,
satungi-tunggiling pangkat wonten tigang pakarti :
(39)Kedah gemi, nastiti,
ngati-ati.
Jedah tegen, rigen, mugen.
Kedah titi, rukti, rumanti.
Bagi wanita yang telah berumah
tangga hedaklah melaksanakan apa yang menjadi tugas seorang
istri, dalam hal ini berjumlah tiga tingkatan, masing-masing
terdapat tiga komponen perilaku : 1. Hendaklah gemi (hemat),
nastiti (cermat), ngati-ati (hati-hati). 2. Hendaklah tegen
(tidak mengecawakan, rigen (trampil), mugen (meyakinkan). 3.
Hendaklah titi (teliti), rukti (manfaat), rumanti (merata).
Dene panduking damel kedah
nglenggahi gangsal prakawis :
Kedah rikat.
Cukat.
Cakut.
Prigel.
Trampil.
Perihal pengabdian, hendaklah
seperti di bawah ini :
Hendaklah dilandasi kejernihan
berpikir, niat, kesungguhan, rajin.
Menggah labetipun kedah
kados ing ngandhap punika :
Kedah idhep, madhep,
mantep, sregep.
Kedah wekel, petel,
mungkul, atul.
Hendaklah tekun, telaten, tanpa
kenal lelah, sabar.
Kejawi punika ingkang dados
wigaripun sadaya lelampahan wau manawi kadunungan pambekan,
tamban, tamben, tambuh tuwin lumuh.
Wondene wewijanganipun ingkang
dados wajibing estri tigang pangkat ing inggil wau makaten :
Kedah gemi, nastiti, ngati-ati,
tegesipun gemi boten mborosi.
(40)Nastiti boten anyelakaken
dhateng pakewed. Ati-ati boten anyelakaken dhateng
kalepatan.
Kedah tegen, mugen, rigen
tegesipun tuwin pakangsalipun makaten : tegesn boten andamel
gela, rigen dados pakolih, mugen dadosaken ing piyandel.
Kedah titi, rukti, rumanti
tegesipun tuwin pakangsalipun makaten : titi boten kenging
weya, rukti kedah mrayogi, rumanti kedah nyekapi.
Sampun kisanak, samanten
kemawon manawi panginten kula sampun nyekapi ingkang
wajibing estri wau.
Juru Patanya :
“Inggih sanget ing panyuwun
kula kisanak, ananging sampeyan kersaa nggancaraken rumiyin
menggah wajibing estri wau empan mapanaken kados pundi?.”
(41) Sang Murwenggita :
“Menggah empan mapanipun
makaten : ing sasaged-saged wanita punika kedah kadunungan
pambekan makaten kados ing ngandhap punika :
Manawi dipun pasrahi sampun
mborosi, ananging kedah ingkang gemi.
Manawi dipun pitados sampun
weya, ananging kedah ingkang nastiti.
Manawi dipun andel sampun
sampun dleya, ananging kedah ing ngati-ati.
Manawi dipun tambuhi sampun
ngresula ananging kedah ingkang nelangsa.
Manawi dipun eringi sampun
daga, ananging kedah ingkang nggrahita.
Menawi dipun ajeni sampun
piangkuh, ananging kedah ingkang rumangsa.
Menawi dipun welasi sampun
lelewa, ananging kedah ingkang susila.
(42)Manawi dipun asihi sampun
andaluya, ananging kedah ingkang waskita.
Menawi dipun tresnani sampun
ngadi-adi ananging kedah ingkang wicaksana.
Yen dipun remeni sampun
langguk, ananging kedah nglanggatana.
Makaten ugi estri punika kedah
anguningana tumaduking tembung : sabar, maklum, tawekal,
liripun makaten :
Manawi dipun sabari sampun
dadra, ananging kedah ingkang narima.
Manawi dipun maklumi sampun
sumangkeyan, ananging kedah weweka.
Manawi dipun tawekali sampun
mamengku, ananging kedah ingkang pasrah.
Sampun kisanak, ing wasana
pamuji kula mugi sampeyan nunten sageda kaleksanan. Amengku
garwa ingkang indah ing warni sarta ingkang
(43) gadhahi pambekan kados
ingkang kula cariyosaken ing inggil wau.
Juru Patanya :
“Amin, amin, mugi pinaringana
dening Allahutangala, pujinipun mitra kula tumunten
anemahana. Kisanak sekelangkung ing panuwun kula, ananging
taksih wonten uwas lan sumelanging manah kula, mbok menawi
ing tembe milih dhateng wanita ingkang wajib tinampik.
Punika kula dereng uninga, wnita ingkang kados punapa?.”
PUPUH IV
Sang Murwenggita :
“Menggah titikan ciri-diri
sarandhuning badan ingkang nandakaken wanodya ingkang awon
kelakuwanipun, punika ugi sampun kasebut ing salebeting
Serat Iman Supingi wau. Kamonceran saupami kapratelakaken
ing ngriki, kula amung badhe nyariosaken ingkang medal
saking gagasan kula
(44) piyambak. Bilih sedya
angupaya rasa kenya, tegesipun estri ingkang taksih prawan.
Panitikanipun ingkang rumiyin manawi payudara ngadeg margi
alit sampun katingal anggandhul, utawi yen ngandhulipun wau
margi saking ageng, kawaspaosaken katawis sampun boten isi
panthenging wana-wana katingal sampun kendo, sarta wanguning
guwaya warni sulak wilis kawistara kirang seneng, lambung
ramping, bokong mekar, mbok manawi saged ningali wuluning
baga warni cemeng sarta kasar punika dipun tampika, awit
sedaya punika titikan tetengering kenya ingkang sampun nate
sinanggama ing kakung. Utawi malih yen wonten pawestri
ingkang ababipun mambet bener utawi letenging arus bacin
kawoworan nduleking ambek kecut. Punapa malih yen githok
mambet wangining sekar kawoworan gnda amis, arus, wengur,
utawi yen tlampukaning mripat tipis sarta ketingal seret
biru, utawi sanadyan tlampukaning mripat ugi ketingal biru,
senadyan palapukaning maripat katingal kandel, manawi pethak
dhelenging maripat ugi katingal biru punika prayogi dipun
tampika, awit adat pawestri ingkang makaten wau asring
gadhahi simpenan penyakit dumunung wonten ing wadosipun.
Utawi malih yen wonten wanodya
ingkang swaranipun drabah kadi swaraning jalma priya ingkang
awor sumurak, punika yen saged inggih dipun tampika, sebab
pawestri ingkang makaten wau ing adat sok asring nggadhahi
watek hewan utawi panasen dhateng sesaming jalma, sarta
boten triman ing pandum, watak daya-daya kesesa boten
saranta ing manah.
(46) Juru Patanya :
“Punika sampun radi lega
raosing manah kula, mugi kisanak kersaa dumugekaken ing
sesampunipun daup dados jatu krami, patrapipun tiyang
anggenipun mengku dhateng wanodya, wajib lan rumeksanipun
kados pundi?.”
PUPUH V
Sang Murwenggita :
“Yen bab prekawis punika saking
pamanah kula manwi kenging tamban tegesipun sareh, benjing
kemawon manawi sampeyan saestu tetinjo dhateng pondok dunung
kula, amaosa Serat Wulang anggitanipun para sujana ing
kina-kina antawis inggih wonten, ingkang amratelakaken bab
rumeksaning estri wau tur pratitis sarta terang, lajeng
gampil anggen sampeyan nampeni suraosipun.”
Juru Patanya :
“Kisanak, bab anggen kula
(47) badhe sowan sarta
nggledahi serat-serat kagungan sampeyan punika prekawis
temtu, sampun boten susah kerembag malih. Wangsul atur kula
kala wau tembung tat lair wicanten panjawab kula nywun
rembag, ananging sejatosipun rak nyuwun wulan ingkang tulen,
medal saking gagasan sampeyan piyambak, bab rumeksaning
pawestri wau kados pundi prayoginipun?”
Sang Murwenggita :
“Kisanak, manawi sampeyan
tanglet saking pamanggih kula piyambak, dereng mangertos
pisan-pisan dhateng prakawis punika, ewa dene manawi karsa
pamanggih dadakan, mendhet saking rerancangan tethukulaning
manah kula bab rumeksaning wanita wau, kinten-kinten murih
prayogi kados ing ngandhap punika :
Ingkang rumiyin bab pawestri
ingkang taksih rara kenya, ingkang dereng mangsa binasakaken
manawi dereng kel (ngarapsari)
(48) sampun ngantos sinanggama
ing kakung, awit ing adat sok asring lajeng dados pawestri
lenjeb. Terkadang sok asring lajeng boten saged ngadahi
anak, dene ingkang makaten wau mbok manawi margi saking
kudup sarining rasa wigar, jalaran saking kasengka rinabasa
ing mangsa, wekasan kekayanganing Sanghyang Asmara
saben-saben ketaman ing raos kadi kaagar, saestu lajeng
karaos bigar, kinten-kinten mbok manawi inggih punika
ingkang binasakaken dados purusente. Dene bab rumeksaning
estri tumraping palakrami, punika kedah jembar, sabar utawi
paramarta, ananging kedah ngenggeni tepa, prayitna, liripun
sampun ngantos lena karana wewatekaning wanita punika asring
kadunungan, manah cekak, budi rupak, calak mapak, jangkah
cendak. Utawi sampun kacariyos
(49) kasebut ing warah saking
pangandikanipun Kangjeng Nabi Sulaeman, yen sujanma pawestri
punika kang kadunungan kirang jejeg ing piyandelipun,
liripun manah kirang antepan gampil dhateng ewah
gingsiripun, asring kelayu dhateng priya sanesipun ingkang
jalaran kepengin saking sabab wirya, rahsa, sarjana, guna,
rupa.
Wewijanganipun makaten : wirya
tegesipun kaluhuran, pikajengipun wanita punika asring melik
dhateng priya ingkang langkung luhur saking bojonipun.
Rahsa, tegesipun inggih rahsa,
pikajengipun wanita punika asring kadunungan raos kepingin
kedah sinanggama ing kakung sanes ingkang sebab saking
bosen, kemba utawi kirang marem sesaminipun.
Sardana, tegesipun sugih arta
utawi raja brana, pikajengipun wanita punika asring
(50) kepingin dhateng arta
utawi raja-brana, ingkang sabab saking kirang
kasamektanipun.
Guna, tegesipun kasagedan,
pikajengipun wanitra punika asring kepingin dhateng priya
sanesipun ingkang sugih kasagedan, utawi dedamelan ingkang
langkung saking bojonipun.
Rupa, tegesipun inggih rupa,
pikajengipun wanita punika asring kelayu, dhateng priya
ingkang warni bagus langkung saking bojonipun. Punapa malih
ingkang kasebut wonten serat panitisastra punika sesaminipun
lepen utawi oyoding kajeng, lampahipun amenggak-menggok yen
kekenceng sok lajeng ical manisipun. Mila lajeng kakiyasan,
benjing manawi wonten peksi gagak awulu petak tuwin tunjung
tuwuh ing sela, punika bok manawi pawestri saged leres
lampahipun, bilih saking pangandikanipun maha Prabu Widayaka
(Ajisaka) pakareman utawi senggama punika bilih pawestri
satunggal saminipun kaliyan priya
(51) wolu, pramila awit saking
pangandikanipun wara Dewi Drupadi : boten wonten tiyang
estri tuwuk ing kakung. Sareng wanten suraos ingkang makaten
panengahing pandawa Raden Arjuna lajeng memarsudi dhateng
solah kridhaning sanama. Analangsa ing Bathara wekasan
katarima ing sasedyanira sinungan Aji Asmaragama.”
PUPUH VI
Juru Patanya :
“Sarehning ing lami-laminipun
kula dereng nate sumerep saha mireng, ingkang binasakaken
nama aji asmaragama punika warni punapa, sarta patrap
pangangge anggenipun nandukaken kados pundi ?”
Sang Murwenggita :
“Manawi tanglet kawujudanipun
warni punapa punika kula dereng terang, amung kinten-kinten
ingkang nama aji asmaragama wau bok manawi tegesipun makaten
: aji punika tegesipun kaaji-aji rerenggan
(52) utawi pakurmatan, dene
asmara tegesipun sengsem, sanggama salulut, dene ingkang
binasakaken salulut wau tegesipun pepuletan, momoran utawi
kekumpulan. Dados pikajengipun ingkang binasakaken aji
asmaragama wau bok menawi boten klintu anggen kula mastani
rerenganing sengsem, pepuletan amoring jalu lan wanita.”
Juru Patanya :
“E…., e….., boten nyana
pisan-pisan, yen ingkang binasakaken aji asmaragama punika
patrap amoring jalu lan wanita. Duk wau saking panginten
kula warni dedamel, curiga utawi sayaka, wangsul bab patrap
amoring priya lan wanodya teka mawi rerengan nami aji
asmaragama punika kados pundi pangetrapipun?.”
Sang Murwenggita :
“Sayektosipun kula dereng
terang, bebasan inggih sagaduk-gaduk
(53) ing manah kula badhe
mratelakaken, ananging sarehning medal saking
kinten-kintening panggagas bilih wonten geseh sulayaning
suraos utawi kithal kiranging tembung, boten langkung nyuwun
pangapunten sarehning patrap amoring jalu lan wanita
limrahipun binasakaken wados, sakalangkung saru yen
kemelokaken prayogi jroning pratela dinapuring panca kara,
kinarya warananging pamicara, campuhira kasebut ngandhap
punika :
Lampahing asmaragama, kalamun
pasta purusa dereng kiyat lan santosa, ing driya aywa
kasesa, nandukaken pancakara, kang mangkono wau mbok manawa,
blenjani neng wiwara, dayane datan widada, temah dela (gela)
kang wardaya, terkadang amanggih ewa, lan wanita lawannya,
marga tan kapadung karsa, riwas wadi wus kabuka wekasan tan
mantra-mantra, tumimbang serenging
(54) driya, wangune salah
mangkana, yeka kena ing rubeda, aran katitih asmara, awit
dereng abipraja, duk wau kagyating pasta, iku uga mbok
manawa lagya kaserenging daya, mung sengseming driya harda,
sinerus lumaksana, kasengka mangsa ing yuda, marma dayane
sapala, tan lama nulya marlupa, kacarita inggih punika, awit
rahsa tuwin jiwa, dereng winengku samya dening prabanira
Hyang Pramana.”
Juru Patanya :
“Amit kisanak, nyuwun
pangapunten, kula nyelani cariyos sakedhap. Sarehning boten
wonten tiyang sanes, kula badhe matur sampeyan ananging
kadamela wados bebasan suket godong aja krungu sayektosipun
kula punika golongan kerep kepranggul dhateng tindak ingkang
makaten, ananging ing sarehning bodho kirang pambudi, dados
datan mawi dipun-nganglangi dhateng nalar-nalaripun
saben-saben kepanggih sabab ingkang
(55) makaten, lajeng kepanduk
ing raos pegel utawi anyeling manah kawimbuhan sanget
lingsem saupami wujuding pasta purusa punika boten
gegandhengan kaliyan angga kita, bok manawi lajeng kula
gebagi sanalika, supados lajeng kapok lan mituruta, sareng
pakewed panggenanipun ing wekasan amung muring-muring
ananging boten kantenan ingkang kula rengoni, pramila kula
sareng mirengaken cariyos sampeyan ingkang binasakaken
tembung katitik asmara, punika kados pundi tegesipun?.”
Sang Murwenggita :
“Yen sampeyan tanglet tegese
utawi werdi bab tembung basa sastra kawi sapanunggalanipun,
punika ing sayektosipun kula rak dereng sumerep sarta dereng
terang menggah patitisipun, dene anggen
(56) kula cariyos sadata wau
sayektosipun saking aneniru, nurut serat uatawi anurut
cariyos liyan, dene bilih sampeyan sidanak, kersa teges
utawi werdi bebasan ing sawonten-wontenipun kula inggih
angaturi kasebut ing ngandhap punika :
Kala wau ingkang sampeyan
tangletaken tembung katitih asmara, mbok manawi
wewijanganipun makaten : katitih punika tegesipun kalindih
utawi kaendih, werdinipun kadesek, kasesek, kaseselan,
katumpangan utawi kasoran, dene tembung asmara tegesipun
birai, brangta utawi kasengsem. Dados pikajengipun tembung
katitih asmara wau mbok manawi katumpangan utawi kasoran ing
sengsem.”
Juru Patanya :
“Kisanak, menggah kasenengan
ing alam donya punika punapa wonten ingkang
(57) ngungkuli malih kados
senenging priya dhateng wanodya, tuwin wanodya dhateng priya
teka wonten tembung katumpangan utawi kasoran ing sengsum.”
Sang Murwenggita :
“Yen menggah kasenengan ing
alam donya, punika kula boten saged amestani, dumunung
wonten pinaringipun piyambak-piyambak, dene ingkang
binasakaken katitih asmara wau sebab kalindih ing rubeda,
menggah kawujudan ingkang asring murugaken dhateng
tumanduking asmara, kinten-kinten kathahipun gangsal
golongan, pepencaran kaperang dados kalih dosa bab,
kapratelakaken kados ing ngandhap punika :
Golongan yen kepanduk : 1.
Arip, 2. Sakit, 3. Luwe, 4. Susah.
Golongan yen kepanduk : 1. Geg,
2. Neg, 3. Gigu, 4. Elik.
(58)Golongan yen kepanduk : 1.
Mutung, 2. Kapok, 3. Kawus. 4. Merang.
Golongan yen kapanduk : 1.
Jeleh, 2. Manuh, 3. Kemba, 4. Bosen.
Golongan yen kepanduk : 1.
Gela, ewa, 3. Cuwa, 4. Jinja.
Menggah pepacaring rubeda kalih
dasa bab wau upami pinuju tumanduking salah satunggil, mbok
manawi punika inggih dumunung wonten sesirikan busananing
sarira, kadosta dhateng raga, driya jiwa sesaminipun
sanadyan tumadukipun amung dhateng tri busana, yen menggah
tetabetanipun bok manawi inggih tumus dhateng dunung
kekayanganing prasa, utawi rahsa, pramila duk wau daya
sarenging driya, ingkang tumus ing pasta purusa kirang
santosa karana dereng kawinbuhan saking daya kridhaning
prasa, utawi rahsa, amargi prasa utawi rahsa : katitih
(59) brangta kasengsem saweg
pinuju ngraosaken tumanduking rubeda wau ing salah
satunggilipun.
Kajawi ingkang kasebut ing
inggil, wonten malih kalebet rubeda ingkang asring murugaken
tumanduking asmaragama, ingkang binasakaken kasor prabawa
wonten kalih bab kados kang kasbut ing ngandhap punika :
Yen priya boten kepadan karsa,
ingkang solah asmaragama.
Saking sabab boten nunggil
bangsa prasaning rahsa utawi rahsaning rahsa.
Dene ingkang binasakaken kasor
prabawa wau mbok manawi patrapipun makaten, empaning cipta
boten kapandan dening mapaning pramana, ing wekasan prasa
tuwin rahsa katamaning raos welas utawi engah, inggih rubeda
patrap makaten wau ingkang binasakaken tumanding kang sanes
bangsa.
(60) Juru Patanya :
“Sareng kula sampun mirengaken
bab rubedaning asmaragama ingkang kasbut ing inggil wau,
sadaya lajeng kapanduk narimah ing manah, layak awis saged
kaleksanan, kerep kuciwanipun jalaran saking kathahipun
rubeda ingkang murungaken, dene rubeda kathahipun samanten
wau murih sageda sumimpang setiyaripun kados punapa?.”
Sang Murwenggita :
“Prasajanipun kisanak, yen
kagungan sampeyan punika saupami yen sinentor ing udaka
wimba, tegesipun sinentor ing toya padasan sampun boten
kersa wungu, punika sampun boten kenging dipunsetiyari
malih, sesaminipun upami suku dipunwastani apus utawi tali,
pikajengipun lemes dados tali saestunipun boten kenging
kadamel lumampah, dene yen boten tumindakipun wau manawi
amung jalaran saking kenging rubeda,
(61) kados ingkang sampun
kapratelakaken ing inggil wau, kinten-kinten mbok manawi
setiyaripun kedah maluya krida, wewijanganipun tembung wau,
amaluya tegesipun memulih, krida tegesipun gagas utawi osik
pikajengan kedah amemulih dhateng ngujar gelenging prasa
tuwin rahsa, bilih katarimah saged golong gumelening prasa
tuwin prasa, mbok manawi lajeng saged lumaksana, kang tanpa
sangsaya.
Pramila pamilihing kedah
ngatos-atos, karana bilih kaleresan angsal wanodya ingkang
prasaning rahsa, ingkang nunggil bangsa, punika lajeng
nggendam langgengin asmara, saniskaraning rubeda, temah
mahanani susila pamoring lulut, awit binuka langgening
pramana, dene ingkang binasakaken susila pamoring lulut wau,
woring sekaliyan binuka tanpa rubeda, amung pinanggih seneng
pareng.
(62) Juru Patanya :
“Sarehning dereng sumerep
nalar-nalaripun dados namung kapanduk eram tuwin gumuning
manah, kadosta : namung kapanduk gela, ewa, cuwa, jinja
sesaminipun kalih dasa bab wau, teka kalajeng boten tumindak
ingkang binasakaken daya santosaning pasta purusa punika
warni punapa?.”
Sang Murwenggita :
…………………………………
Juru Patanya :
“……………………………………………………….
pangraos cuwa, engah, utawi cengah, alawanan kaliyan wanita
ingkang sanget kuciwa
(64) ing warni, inggih boten
kapanduking raos gela, ewa, kemba lelawanan kaliyan wanita
ingkang gandanipun awon, inggih boten kapanduking raos, geg,
gigu, elik, punika ingkang sanget nggumunaken, dene
anggenipun saged sumingkir nyimpang pepalanging jurang,
sageda dhateng sakathah ing rubeda punika mugi kawastanana
priya ingkang gadhah lampah makaten wau, punapa pancen boten
kadunungan apiking pangraos utawi raos, punapa pancen tanpa
sebut.”
Sang Murwenggita :
“Priyan ingkang gadhah patrap
makaten wau inggih leres gumunaken anggenipun sumimpang
saking rubeda, katandha saben-saben tumanduk dene widada
saged gembira ing asamarangipun, ing mangke kula cariyos
kangge timbangan minangka saksi, supados katingala
nalar-nalaripun, kinten-kinten priya ingkang
(65) makaten punika kados
sujanma ingkang binasakaken lembon, inggih punika sujanma
ingkang karem sanget dhateng nendra, mila binasakaken karem
sanget margi tanpa mawi mangsa, saben dinten netranipun
karaos sanget arip, kadereng kumedah anendra, sarta boten
mawi milih tuwin anampik ing dunung, bebasan inggih
sadawah-dawahing badanipun inggih lajeng saged nendra tur
kalayan sakeca, terkadang ngantos kelantur ing wanci, wonten
malih sesaminipun sujanma ingkang binasakaken anggrangsang
ing dremba, inggih punika sujanma ingkang ngangsa-angsa
karem ambukti, mila binasakaken karem boten mawi mangsa,
saweg tuwuk teka kadereng kedah anedha, tanpa mawi pilih
tampik ing tetedhan, bebasan ing sawonten-wontenipun inggih
purun bukti tur kalayan eca terkadhangan ngantos kelanduk
ing taker,
(66) punika saking
kinten-kinten kula piyambak, bab asmaragama wau bok manawi
inggih boten aprabeda. Samangke sareng katitik saking
lelampahanipun para sujanma ingkang remen dhateng bukti,
utawi sujanma ingkang remen nendra kados-kados inggih sampun
terang, priya ingkang gadhah kelakuwan tanpa tampik dhateng
wanodya wau mbok manawi inggih pancen karem dhateng raosing
asmara.”
Juru Patanya :
“Yen saking pamanggih kula
kados-kados inggih sampun leres, janma priya ingkang tanpa
tampik wanita punika. Jalaran saking karem asmara. Sapunika
kula pitanglet saking pamanggih sampeyan piyambak kenging
dipun wastani priya ingkang boten kadunungan apiking
pangraos utawi raos, punapa priya tanpa sebut sarta kelakuan
makaten wau sae punapa awon?.”
Sang Murwenggita :
“Kisanak, dunungipun wanita
ingkang makaten wau yen kula kapurih mastani, nyuwun
pangapunten ingkang kathah-kathah, senadyan dipun peksa
kalayan santosa meksa mopo boten saged amratelakaken, awit
kula sampun sumerep yen sampeyan piyambak inggih sampun
saged mastani dunungipun priya ingkang makaten wau, saestu
inggih terang yen tanpa sebut jalaran saking anggenipun
sanget ngungun dhateng sabiyantuning daya ingkang
ngangsa-angsa karem dhateng asmara ngantos kalimput, boten
ngalih dhateng sakathah ing rubeda ingkang dados
sesirikaning busana. Suwawi kisanak sami nggalih ingkang
sampun kula sipati kemawon, pinten-pinten kathah ing priya
ingkang sami nandhang sangsara inggih jalaran saking
penyakiting senggama wau
(68) kinten-kintening manah
kula, mbok manawi punika inggih jalaran wektu sanggama,
kapanduking rubeda sesirikan busana, boten mawi milih nampik
ing dunung, mangka ingkang dipun dunungi nalika nendra wau,
kang talemek nuju wonten barang ingkang gateli kadosta :
uler, rawe, kemaduh, semut, klabang sesaminipun, rak inggih
badhe kapanduk damel sesakiting seliranipun. Punapa malih
sujanma ingkang karem ambukti tanpa tampik ing tetedan
kadosta : pepedes, kekecut, lelegi, sesepet, utawi gurih
sesaminipun tanpa mawi kagalih panedhanipun, sarampunging
panedha mbok manawi inggih kraos, tumrap
(69) penyakiting sariranipun.
Suwawi kisanak, kula aturi mestani piyambak sadaya pakareman
ingkang dadosaken kasangsaraning sarira punika kenging dipun
wastani awon puna sae?.”
Juru Patanya :
“Sampun kaping rambah-rambah
anggen kula pitanglet dhateng lare ingkang saweg umur kawan
tahun tur wicantenipun taksih pelo, suprandosipun teka saged
amestani bab pakareman ingkang dadosaken sengsaraning badan
punika boten pakoleh, kilap pamanggihipun lare wau, kula
boten terang. Dene yen kula kaliyan sampeyan, sarehning
janma sampun sepuh sarta priksa ing nalar, kilap anggenipun
mastani saestunipun amung dumunung wonten ing batos kemawon,
yen ta menggah saking panampining manah kula, cariyos
sampeyan bab
(70) katitih ing asmara utawi
priya ingkang tanpa tampik wanita, kados-kados inggih sampun
terang. Sapunika saking atur pamuji kula saupami pinareng
karenan ing panggalih, kisanak kersa anglajengaken cariyos
malih bab tumanduking asmaragama ingkang tanpa sangsaya,
saiba badhe bingah ing manah kula.”
Sang Murwenggita :
“Kisanak inggih prayogi, bilih
kersa mirengaken lahiring gagasan, sagaduk-gaduking manah
kula dumugekaken cariyos malih bab tumaduking asmaragama
ingkang tanpa sangsaya, inggih punika nami susila pamoring
lulut tuwin babar langgen mangsah ing pancakara, kinarya
warananing pamicara kados ing ngandhap punika :
(71) Kalamun pasta purusa wus
kiyeng kiyat santosa, kwehning daya wus samekta, iku nulya
tindakena umangsah ing ronanggana, sayekti datan kuciwa
tumempuhing banda yuda. Nanging ta dipun prayitna, ing
tindak ajwa sembrana, gyaning bakal nuju prasa, mring wanita
mengsahira, supaya leganing driya, wruhanta dipun
waspada,jroning pasti kono ana musthikaning rasa mulya,
rineksa para jawata, aram sanghyang Utapatra, utawa
Sanghyang Gambira, dumunung wuri puruna, yen tinempuh dening
gada, watakira prasanira, nuli bebantuning prapta,
pepinginan ing jro baga,ingaran Sanghyang Asmara, sesilih
Hyang Cakra, kang abipraya saraya, wimbuh keri griminira,
anarik daya ajunya, mring Sanghyang Purnamasangka, ya
Sanghyang Asmara Tantra, utawa Sang Kamajaya. Pameying rahsa
mangkana, srana ngagema
(72) wisaya, pratingkah ukeling
pasta, kacarita solahira, duk murwani lumaksana, karsa
pepucuking yuda, kwehning daya saniskara, ajwa sineru
sarosa, ing tindak kesah saranta, pangangkah amung muriha,
keri prasaning wanita, kalamun wus sawetara, jumpuhing prang
lama-lama pepalu tumempuhira, pininda upama gada, tinangkis
ing bada baya (tameng) saking rosaning panggad, kuwating
panangkisira, wekasan metu dahana, mubal sumundul ngakasa,
sesumuke nemu pega, kukus katut samirana, prapta tumaduking
prasa, kekerining mengsahira, gumiringing saya dadra.
Gantya wau wanita, denya gadah
banda yuda, mubal metuning dahana, semrambah ing sarira, tan
kuwawa anahana keri gumrining prasa, saya harda
ngambra-ambra, wantu wataking wanodya, yen wus liwung
kridhanira,
(73) ing budi datan saranta,
sigra amusti sanjata, warastra mangka pusaka, teturunaning
sang jawata, ganjaran Hyang Girinata, piningit sajroning
baga, yeka kang hru baru nastra, sumembur metu tirta, toya
lir yiyiding mina, kumembeng sajroning baga, angelem pasta
purusa.
Wau ta sir pasta, silem kinelem
ing tirta, tan mantra ririna ing solah saya gembira, anebur
ing barunastra, lir ombak samodra bena nganggen lumut
satepinya, samodra karoban toya, nempel ngumpul lir tinata,
bebarising warhat bala, kadi gelar cakra byuha, bondhot
bebudheting pasta, ning tan surut saya rosa, liwung
pamukireng yuda.
Mangkya gantya kacarita,
remening prang bratayuda, anulya ana suwara lamat-lamat
kapiyarsa, surasa asung wasita, wiyose kadya mangkana, e
kulup sira sang pasta, poma
(74) ngger dipun prayitna,
panarik sendaling gada, maju miwah undurira, papane lunyu
sedaya wus tan kena tinulaka, wit iluning barunastra, saya
dres panyemburnya, dene nemu lumaksana, lamun lena pasti
ina, yen kepleset ansahira, rebabe nindihi gada, katikel
dadya rubeda ing jro aran roga brata, pileg ing kadadeyanya,
adate ingkang mangkana, benjang maning lamun yuda, tumus
mahanani roge, tumular mring pasti baga, yen iku tan
sinucekena, ing sawusing pancakara, manawa pasta purusa
kataman ing roga jaba, ubengan ing aranira. Kang iku den
engetana, tembe sakaro tan kena, yen maning mangsah
angayuda, kalamun durung nirmala, kudu temen tinumana,
waluya sakalihira, mangka ujaring salaka, yen priya anandang
raga, kaprenah jro pasti boga, lamun harsa
(75) mangsah yuda, yoga rumuhun
seniya, prelu nurutna memala, murih ajwa tumular, mring
wanodya mengsahira, lan kulup sira weruha, adat wataking
wanodya, yen wus ngedalaken tirta, kang kadi yiyiting mina,
gumringinge saya harda, mempeng dereng ngireng prasa,
kawistara sarabira, kiyat kiyeng saliranya, sawanda kejeng
sedaya, dene lamun wus mangkana, sira darbeya sedya,
tetulung mring mengsahira, tumraping asmara tantra, tan liya
amung wisaya, solahing pasta purusa, sinengkakna pamukira,
tempuh pamukuling gadha, kang ajeg lan den kerepna, kalawan
dipun waspada, amawasa ing sasmita, adat wantuning wanita
yen wus liwung pamuhira, nulya agawe lelewa, pratingkah
solah ing angga, wit saking kirang prasaja, sejatine
karsanira, biyantu solahing pasta, kinen nuju amrenakna,
mring dununging prasanira, kang supaya tinrajanga,
(76) sinenggol pucuking pasta,
ing kono dipun turuta, sakarsanireng wanodya, yen pinareng
datan lama, wanita amudar prasa, yekti ana wataranya,
gara-gara jroning baga, anyendhol pucuking pasta, iku saka
kira-kiram laraping reca gupala, kabukaning kang wiwara,
jenenging Hyang Kamajaya, aliya tandha mangkana, kang
sayekti kawistara, kawawas sawarnanira, ing hangga sakojur
wanda, angler kaoncatan yitma, lesu ngalumpruk marlupa,
kadi-kadi tan kuwawa, anyandhang enaking rahsa, sesambate
melas arsa, karya trenyuh ing wardaya.”
Yen tan menggah tetakeran,
panimbang mendhet saking tepa, pamawas wujuding warni,
panuja kaleganing wanita ingkang makaten wau, kados-kados
sampun nyekapi, pratandha dene sang wanita sampun
kapanduking marlupa sariranira, ewa semanten sarehning
tetakeraning
(77) panggalih manungsa punika
beda-beda, wonten ingkang sanget karsa, wonten ingkang amung
sawatawis, trekadangan asring wonten priya ingkang muda
tama, tegesipun priya ingkang taksih katabetan lare, tuwin
busuk tumandukipun amung kangge memainan, nalar ingkang
makaten punika, mboten kenging dinugi, amung gumantung
wonten seneng lan keparingipun priya piyambak, wondene
menggah patrap salebitipun sanggama wau, priya kedah mawas
ulat lirining wanita punapa dene saliranipun piyambak, yen
sampun kapanduking panggalih : lega, carem, tuwin marem
sesaminipun upami tiyang nenedha, karaos sampun tuwuk, duk
wau sang wanita amudhar prasa, priya anyarengana sami
wedalipun, dene manawi panggalihing priya taksih kapanduking
raos cuwa, utawi gela, jalaran saking
(78) kirang lega, punika
pamudar ing prasa priya sampun anyarengi, nanging menggah
leksananing patrap ingkang mekaten wau, priya asring
kapanduk ing raos kadi kalayu pamudharing prasa punika dipun
gantosa ing pamaretipun. Dene anggenipun kesesa wau awit
kadereng wiyosipun Hyang Kamajaya, punika tinulaka dening
japa mantra, kados ing nngadhap punika :
Kedah manggen wonten gajeging
gela, sampun kadamel lega, prasaning rahsa badeh rasa
kawudhara, ing riku wujuding wisaya, sang pasta purusa kedah
kakendelaken rumiyin dumunung wonten sajawi, utawi
salebeting wiwara punika gumantung wonten seneng lan
pinareng ing kalih-kalihipun, sarehning sang wanita duk wau
wus saweg kaleson sayah denira panca kara, priya darbeya
sedya jangkah tindak utami tetulung dumateng mengsah, paring
usada mrih
(79) waluya kasrakat ing salira
denya ketiban gada, punika usadanipun kedah tinuju ing prana
(ati), dene lelantaran tumandukipun wau kalayan angagema
sarana kados ing ngandhap punika :
Dingin tembung manuhara, manis
sedheping wicara, lelewa solahing angga, lan kedap liringing
netya, tuwin den biyantono, ing solah ukeling pasta, agugah
kerining prahsa, kedah sareh tindakira, datan kena
daya-daya, bok manawa pinarengna, usada saged tumama,
tumanduk marang ing prana (ati), suka giranging driya,
sumarambah ing sarira, nirmala temah waluya, ngadeg malih
kasarangnya, tandangira lir raksasa, kadi arsa amemangsa,
kang priya tanggap prayitna, ing solah datan prabeda, kedah
nuju ing prasa, kadi duk wau bebuka, klawan priya engeta,
wewadine sang wanita, darbe aji suksmayana,
(80) dumunung thelenging baga,
yeka kang krasa, anyendol pucuking pasta, lamun harsa
mungkasana, kono kerep den godan, ing adate datan lama,
raksasa nulya palastra.makaten ing salajengipun ngantos
kaping pinten rambahan, dene manawi dampun kraos marem ing
panggalih, yen wanita amudar prasa, priya kedah nyarengana
sami wedalipun, mbok manawi inggih punika ingkang
binasakaken priya widagda nuju prasa, tuwin undagi ing
asmaragama, wondene enggal lan danguning wanci nalika prang
bratayuda wau, punika boten kenging dinugi, muhung gumantung
wonten seneng lan peparengipun piyambak-piyambak.”
Juru Patanya :
“Elo, boten nyana, yen
dangu-dangu kisanak lucu, kok sampuna kula sumerep rumiyin
wiwitaning rembag, bab asmaragama sarta ing ngandhap sampun
mawi anyebutaken yen
(81) wanita amudar prasa, priya
kedah tanggap anyarenggana, kula meh pangling boten sumerep
pisan-pisan seg, kula wastani sampeyan wau anyariyosaken
serat wiwaha, perangipun Prabu Nuwatakawaca, dene teka mawi
anyebutaken lir buta mangsa daging satra darbe aji
sukmanyana.”
Sang Murwenggita :
“Sampun klentu panampi, tembung
makaten wau gagasaning manah kula piyambak, dene kok pejah
gesangipun boten prabeda sami dumunung wonten ing
lak-lakan.”
Juru Patanya :
“Leres kisanak, boten aprabeda
sami dumunung wonten ing cetak, kaot ngandhap kaliyan
nginggil, kula sampun midangetaken cariyos gagasan sampeyan
bab asmaragama kasebut ing inggil wau saking pamanggihing
manah kula inggih sampun ajeng sanget, kados-kados
(82) panguja kalenganing wanita
samanten wau inggih sampun anyekapi katandha saking
saliranipun sampun kapanduk ing marlupa, kados saupami
kasengkakaken malih langkung saking punika anggenipun panca
barkah, bok manawi lajeng kataman rubeda sesirikaning busana
temah akarya roganing hangga. Ananging kula mangke
ngengetaken, duk wau pratelan rumeksaning pawestri sampeyan
sampun nyebutaken, suraosing serat Paniti Sastra nyebutaken
awit saking pangandikanipun Maha Prabu Widayaka (Ajisaka),
sadaya pakareman tuwin ing atasing asmaragama satunggal
janma pawestri sesaminipun kaliyan priya wolu, punapa malih
pangandikanipun Wara Dewi Drupadi, boten wonten wanodya
tuwuk ing kakung, wasana tumraping asmaragama wau daya
kekuwataning wanita kenging binsakaken mung sapele, teka
boten pisan pisan tumimbang kekuwataning
(83) priya, duk wau nalika
saweg sapisan warninipun sang wanita kados sampun
kapanduking raos lega, carem, utawi marem, katandha saking
marlupaning sarira, dene ingkang rambah kaping kalih
purunipun tumindak malih jalaran saking kapeksa, kataman
usada saking panembranganing priya, sarehning rumaos
dunungipun wanita punika kawenang kapurba lan kawisesa
dening pangwasaning priya, mangka ing laksananipun bebasan
tumindak kaliyan tanpa banda, saestunipun sang wanita datan
lena tan ketang kataman rubeda, inggih lajeng lumaksana,
suwawi kisanak kagaliha geseh sulayaning suraos, ingkang
makaten wau kados pundi katrangipun?.”
Sang Murwenggita :
“Inggih leres kisanak wonten
sulayanipun, ananging teka leres kemawon, punapa gunanipun
pinarsudi yen boten makatena. Menggah tetukulaning manah
panggagas kula ingkang
(84) samanten wau,
tetimbanganing utawi pipiridan mendhet saking kekiyasaning
suraos, wonten wicaraning sujanma wanita ingkang sampun
yayah ing priya, inggih punika pawestri ingkang sampun yayah
sinanggama ing kakung, kacariyos menggah carem tuwin marem
leganing manah sarta sakecaning raos yen nuju anglampahi
sinanggama ing kakung, punika boten awit saking gora lan
antering pasta tuwin danguning wanci namung kumedah sageda
kaprenah alelawanan akaliyan priya ingkang undagi ing
asmaragama, sarta waskita anuju prasa.
Karana yen punuju kaprenah
sinanggamadening priya ingkang cubluk, mangka gora
antaraning pasta tambah danguning – wanci, punika lajeng
kapanduk ing raos boten sakeca, wewijanganipun makaten :
gora antaraning pasta andamel sebab, antaraning pasta
temahan damel sakit tumrap dhateng raosing baga, danguning
wanci damel raos pegel
(85) tuwin kanyel, tumraping
manah, dene yen kaprenah lelawanan kaliyan priya ingkang
cubluk mangka nuju alit lan celaking pasta tambah enggaling
wanci, punika lajeng kapanduk ing raos congah, cela, cuwa,
gela, kemba, ewa menggah wicaraning janma wanita ingkang
makaten wau, kangge minangka saksi lajeng katimbang malih,
kadosta : gora antaraning pasta tuwin danguning wanci
sesaminipun, upami kadi sujanma buktii, kekathahen ngantos
keladuking taker, saestunipun inggih badhe kapanduk ing raos
sakit tumraping saliranipun, upami kadi sujanma nendra
ngantos kelanturing wanci, saestunipun inggih badhe kapanduk
lesu, lungkrah, lesah, tumraping saliranipun, dene yen alit
celaking pasta enggaling wanci sesaminipun, kadi sujanma
ambukti utawi nendra kirang saking taker, saestunipun
(86) inggih lajeng kapanduk ing
raos congah, cela, cuwa, gela, kemba, mbok manawi raosing
wanita ing atasing bab asmaragama wau inggih boten
aprabeda.”
Yen tan menggah bebakunipun
ingkang prelu patrap tuwin solah ing asmaragama, ing atasing
priya kedah santosa, pamenggah wiyosing Hyang Kamajaya,
tuwin kedaha widagda lan waskita, nuju prasaning wanita.
Wondening empan lan mapanipun makaten : ingkang rumiyin
tumrap dhateng bedanipun piyambak, kedah nyerahaken
saniskara tuwin angadem-adema angkara dhatenging driya,
pikantukipun boten adamel kaget ing para jawata wekasan
katarima, saged kuwawa menggah kasesaning wiyosing Sanghyang
Kamajaya, temahan badhe saged kadugen ing sakarsa-karsanira.
Ingkang kaping kalih : kedah nggegasah tuwin
(87) nyenyongah dhateng angkara
serenging driya, lajeng cumepak dunung enggen kahyanganing
Sang Hyang Kamajaya, utawi Hyang Asmara, sayekti datan lama
wiyosira amudar prasa.”
Juru Patanya :
“Mangke ta kisanak, anggen
sampeyan ngiyas bakunipun ingkang prelu bab asmaragama,
tumraping priya kedah nyarehaken saniskara, lan gegasah
dhateng hawa angkaraning wanita makaten wau wewatonipun
mendet saking punapa?.”
Sang Murwenggita :
“Menggah tetukulaning
panggagas, ingkang makaten wau inggih medet saking murad
maksuding cariyos kula, bab asmaragama kasebut ing inggil
wau, dene yen sampeyan kirang pitados kenging kanyatakaken,
saupami wonten sujanma priya nyanggama sanget harda
kaserenging driya ing tindak tanduk kaliyan daya-daya, ing
adatipun asring boten saged lama wiyosing
(88) kama amudhar prasa. Dene
kasok wangsulipun yen wanita sinanggama pinuju boten rena
wus sepen nir harda serenging driya, kinten-kinten sandyan
kinrubuta dening priya lan sepinten danguning wanci, mbok
manawi amung dadosaken raganing baga tan saged amudar prasa.
Wondene ingkang kasebut saking
pangandikanipun Maha Prabu Widayaka tuwin Wara Drupadi wau,
saking kinten-kintening manah kula mbok manawi tembung
dedamelanipun pra sujanma, saking karsanipun pamacakipun
tembung wau amung kinarya pasemon, ngerang-ngerang tumrap
dhateng para sujanma ingkang cubluk ing manah tuwin cekak
cupeting pambudi, pikajenganipun supados amarsudiya dhateng
saolah kridaning aji asmara (utawi jampi yasaning Batara),
awit menggah musthikaning rahsa mulya jenaking Hyang
Kamajaya, ingkang piningit dumunung satelenging baga punika,
tangeh sanget yen kenginga
(89) tinarik saking bodho bundu
budening manah, kajawi amung gumantung wonten wasisi lan
undagining priya, kanti katariman wahyaning mangsa kala
saged binuka saking pranawaning rahsa kang sampurna, dene
pumurihing para sujanma, pamarsudining kawruh ingkang
makaten wau, awit aji asmara punika kangge sarana lelantaran
anggenipun badhe nyumerepi dhateng asal wijinira manungsa
sejati, karana ingkang kasebut tembung paribasan makaten :
sinten manungsa ingkang boten uninga dhateng sejati asal
wijilira, sayektine inggih datan uninga dhateng sejati
paraning sedya, kacariyos ing tembe inggih badhe kirang
sampurna ing kamuksanira, pae ingkang sampun angudaneni ing
purwa madya wasananing sarira, wekasan sirna uwas
sumelanging driya, tetep jumeneng manungsa jati kang
sampurna.
Berlanjut Ke :
Sistem nilai budaya dan ajaran
seks dalam Serat Nitimani
(Syech SITI JENAR) (P#2 Pupuh
VII - XVII).................KLIK
DISINI......
http://akucintanusantaraku.blogspot.com/2014/02/sistem-nilai-budaya-dan-ajaran-seks.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar