Minggu, 15 Desember 2019

Gatholoco – Damar Shasangka



Serat Gatholoco

Gatholoco – Damar Shasangka

Gatholoco – Damar Shasangka

Gatholoco adalah lambang Lelaki Sejati, ia yang mampu memahami proses penciptaan manusia melalui lingga dan yoni, yang menjadi penyebab turunnya ruh ke bumi. Lelaki Sejati adalah ia yang sanggup mengendalikan segala anasir di dalam dirinya. Buku ini menceritakan kembara Gatholoco menaklukkan lima wanita yang merepresentasikan unsur-unsur halus di dalam diri manusia: Rêtna Dewi Lupitwati (yoni/kundalini), Mlênuk Gêmbuk (memori), Dudul Mêndut (kesadaran), Rara Bawuk (emosi), dan Dewi Bleweh (pikiran). Seolah berbicara kepada diri sendiri, Gatholoco kemudian membabar rahasia ilmu sejati dan ketuhanan dengan bahasa yang memukau dan sarat makna.
Berangkat dari kisah Gatholoco yang legendaris, Damar Shashangka berikhtiar untuk menyuguhkan kembali Filsafat Lingga Yoni, ajaran kuno yang nyaris sirna dari bumi Pertiwi. Dengan jernih ia mengulasnya melalui bahasa tiga tradisi spiritual yang berkembang di Nusantara: Tasawuf Islam, Siwa Buddha, dan Kejawen.
Meski terus-menerus dipinggirkan dan dicap dengan berbagai stigma yang tidak mengenakkan sepanjang 500 tahun, semangat pencarian spiritual para pribumi Jawa di sana-sini terus menggeliat dalam ritme yang dinamis. Paham kaum puritan yang ortodoks dan kaku bagaikan menyodorkan baju besi kepada masyarakat. Jangankan untuk bergerak bebas, untuk bernapas pun susah.
Semenjak awal, masyarakat Jawa bebas berekspresi dalam ranah spiritual. Ekspresi kebebasan ini bisa ditemukan dan dilakukan dalam dua tradisi spiritual yang berasal dari India: ajaran Weda dan Buddhisme. Keduanya hadir ke Nusantara dengan menyodorkan wadah yang longgar. Kebebasan ini berpuncak pada pola sinkretis yang dikenal sebagai ajaran Siwa Buddha, atau cukup disebut agama Buda saja. Menyadari inti spiritual adalah titik berat yang memang menjadi acuan utama dua tradisi spiritual dari India tersebut. Sehingga, penghayatan orang Jawa terhadap dua ajaran itu menjadi tampak berbeda dan tak lagi terkesan India-sentris. Penghayatan yang bebas semacam itu selama berabad-abad dipandang absah dan tidak dipermasalahkan.
Menilik dari bahasa yang digunakan penulis Sêrat Gatholoco, karya sastra kontroversial ini lahir di pengujung abad ke-19, ketika Sastra Jawa Baru begitu marak serta mencapai bentuknya yang cukup stabil. Jika kita membicarakan Sastra Jawa Baru, mau tidak mau kita harus berpaling kepada sosok Raden Ngabehi Ranggawarsita (15 Maret 1802 – 24 Desember 1873) sebagai seorang pujangga besar Sastra Jawa Baru. Tak berlebihan pula jika ada kecurigaan bahwa sêrat tersebut ditulis olehnya.
Tak pelak, kehadiran Sêrat Gatholoco sangat mengguncang tatanan mainstream yang mencengkam kuat masyarakat Jawa kala itu. Selain penuh kritik pedas, sarkasme, dan pemikiran yang berani, dasar-dasar filsafat Lingga Yoni, yang nyaris sirna di ranah publik Jawa, dimunculkan kembali olehnya. Nama tokoh utama yang ditampilkan dalam sêrat ini, yaitu Gatholoco, sudah cukup kuat untuk mengindikasikan adanya muatan filsafat Siwais dan Tantris. Gatho secara literal berarti alat kelamin dan loco berarti kocokan. Gatholoco bisa diterjemahkan secara literal sebagai “alat kelamin yang dikocok”. Sebuah nama yang tabu dan jorok dalam alam pemikiran Jawa Baru kala itu. Nama yang terkesan mengandung semangat pemberontakan kepada kemapanan. Nama yang “najis” dan bisa dicap “kufur” oleh kaum puritan.
Sêrat ini juga penuh ungkapan sufistik yang mendalam. Sang penulis rupanya memberikan sentakan kesadaran dari dua sisi sekaligus, sisi yang sarkastik dari filsafat Lingga Yoni dan sisi yang relatif lebih bisa diterima kalangan sufi. Pemahaman sufistik sang penulis tampak jelas di sana-sini. Ungkapan-ungkapan khas seperti Roh Ilapi (Ruh Idlafi), Nur Mukamad (Nur Muhammad), Johar Awal (Jauhar Awwal), Makripat (Makrifat), Tokid (Tauhid), Mukamad Majaji (Muhammad Majazi) dan Mukamad Kakiki (Muhammad Hakiki), dll., seperti taburan bunga-bunga nan indah di dalamnya.
Sêrat Gatholoco merupakan refleksi kemuakan dari mereka yang terus-menerus melihat kekakuan dalam kehidupan beragama; refleksi kemuakan dari mereka yang melihat betapa kebebasan manusia untuk berekspresi tertindas oleh dogma yang kaku, yang menciptakan sosok Tuhan yang haus darah dan intoleran, yang melahirkan sikap-sikap eksklusif dan tak ramah. Sêrat Gatholoco hadir untuk menyentak kesadaran kita bahwa ruh agama adalah spiritualitas. Dan spiritualitas itu bersifat dinamis, penuh toleransi, dan semestinya mengembangkan Kasih (Rahmah) di dalam diri manusia.
Di bagian akhir, sang penulis Damar Shasangka menyarikan ajaran Aji Asmaragama dari beragam kitab kuno. Aji Asmaragama adalah pengetahuan olah asmara yang membahas cara mencapai kepuasan jasmani dan ruhani dalam sanggama, beberapa aji untuk memikat hati wanita dan memberikan kenikmatan kepadanya bahkan tanpa bersentuhan, sejumlah sarana dan ramuan untuk meningkatkan kualitas hubungan badan, serta metode spiritual untuk memperoleh keturunan sesuai yang diharapkan.
Cuplikan GATHOLOCO Rahasia Ilmu Sejati dan Asmaragama
Panasnya sebuah persanggamaan, di Sêrat Nitimani dituangkan dalam kalimat puitis seperti di bawah ini :
Kalamun pastha purusha, wus kiyêng kiyêt santosa, kwehning saya wus samêkta, iku nulya katindakna, umangsah ing rananggana, sayêkti datan kuciwa, katêmpuh ing bandayuda. Nanging ta dipun prayitna, ing tindak aywa sêmbrana, nggone bakal nuju prasa, mring wanita mêngsahira. Supaya lêganing driya, wruh antawisipun waspada, jroning pasti kono ana, musthikaning rasa mulya, rinêksa para jawata, karan Sang Hyang Watapatra, utawa Sang Hyang Gambira, dumunung wuri Purana, yen tinêmpuh dening gada, watak kêri prasanira. Nuli babantune prapta, pipingitan ing jro bhaga, ingaran Sang Hyang Asmara, asisilih Sang Hyang Cakra, kang abipraya sarosa, wimbuh kêri nggrimingira, anarik daya ayunya, mring Sang Hyang Purnama sangka utama Sang Kamajaya. Pameting rahsa mangkana, srana ngagêm mawi sraya, pratingkah ukêling Pastha. Kacarita solahira, duk marwani lumaksana, karya pupucuking yuda, kwehning daya saniskara, aywa sinêrusa rosa, ing tindak kêdah saronta, pangangkah amung muriha, kêri prasaning wanita. Kalamun wus sawatara, campuh ing prang lama-lama, papalu tumêmpuhira, pinindha upama gada, tinangkis ing bondabaya. Saking rosaning panggada, kuwating panangkisira, wêkasan mêtu dahana, mubal sumundhul ngakasa, susumuke ngêmu pega, kukus katut samirana, prapta tumanduking prasa, kêkêrining mêngsahira, gumriming saya andadra.
“Manakala pastha purusha, sudah memanjang teguh sentosa, dan segala kekuatan sudah sedia, maka bergeraklah, maju menuju rananggana (medan tempur), tak akan menemui kekecewaan, jika terjun dalam bandayuda (peperangan). Namun tetaplah waspada, jangan ceroboh dalam tingkah, ketika hendak mengarah rasa, dari wanita musuhmu. Agar terpuaskan dalam jiwa, maka ketahuilah dan waspadalah, bahwa telah ada dengan pasti, sebuah mustika rasa yang mulia, yang dijaga para dewata, yang disebut Sang Hyang Watapatra, atau Sang Hyang Gambira, yang terletak di belakang purana, jika dihantam dengan gada, akan terasa geli. Jika sudah terkena gada maka bala bantuan akan datang, yang datang dari tempat tersembunyi di dalam bhaga, berjuluk Sang Hyang Asmara, berganti wujud menjadi Sang Hyang Cakra, kuat dan tangguh, maka bertambah-tambahlah geli menggeletar, menarik daya kecantikan, dari Sang Hyang Purnama perwujudan utama Sang Kamajaya. Untuk mendapatkan rasa yang sedemikian, dengan sarana, tingkah cekatan sang Pastha. Dikisahkan tingkahnya, ketika memulai berjalan, sebagai pucuk pimpinan prajurit, haruslah segala kekuatan bergerak secara perlahan, jangan terlalu kuat, bergeraklah dengan sabar, cukup agar menciptakan geletar, gelinjang rasa wanita. Manakala sudah beberapa waktu, lama-kelamaan di dalam peperangan, hantamkan palu, yang bagaikan gada, namun ternyata dapat ditangkis dengan bandabaya (tameng). Begitu kuatnya ayunan gada, juga kuatnya tangkisan, memunculkan api, yang bergulung menggapai angkasa, hawa panasnya menciptakan mega, asapnya terhempas angin, datang mengarah tepat pada rasa, dan gelinjang musuhmu, menggeletar semakin menjadi-jadi.”

Penyunting: Salahuddien Gz, Endah Sulwesi
Penerbit: Dolphin (www.penerbitdolphin.com)
Harga: Rp 69.800,- (400 hlm.)
Email: penerbitdolphin@yahoo.com









==========================

Arti kata gatholoco dalam bahasa Jawa (gatho: barang tersembunyi, loco: mengocok, mengelus) sudah berasosiasi ke penis karena memang dimaksudkan sebagai simbol seksual kelelakian.

https://id.wikipedia.org/wiki/Suluk_Gatoloco

==========================


Tidak ada komentar:

Posting Komentar