Jumat, 20 Desember 2019

Serat Suluk Gatolotjo 12



Serat Gatholoco

Serat Suluk Gatolotjo 12


Dalam mitologi Minahasa, Lumimuut terlahir dari batu karang. Batu itu terbawa ombak dan terdampar di pantai dekat gunung Wulur Mahatus. Saat panas terik, batu itu tiba-tiba meneteskan peluh. Peluh itu menggumpal dan membentuk tubuh manusia, seorang gadis jelita.

Sendirian di pulau kosong, Lumimuut berdoa untuk minta teman. Tuhan mengabulkan. Batu yang diinjaknya merekah, dan muncul sesosok manusia lagi. Jenis kelaminnya juga perempuan, bernama Tareniema yang lambat-laun disebut Karema.

Mendapat teman perempuan di pulau kosong yang kelak menjadi Minahasa itu tak membuat Lumimuut bahagia. Dia ingin kehadiran laki-laki. Gadis ini kembali berdoa. Di pantai yang lengang dia berdiri telanjang. Tangannya direntangkan ke atas, tegak mematung menghadap utara. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai lepas. Angin memainkan dan membelai tubuhnya. Tak lama Lumimuut hamil. Kelak dia melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Toar.

Ada laki-laki tetapi anak sendiri membuat Lumimuut tetap kesepian. Maka dipakailah ‘cara’ menghapus hambatan sedarah. Dua kayu dijadikan tongkat berukuran sama. Dengan tongkat itu Toar dan Lumimuut memutari bukit arah berlawanan. Kalau saat bertemu nanti panjang tongkat itu tidak sama, maka keduanya sah untuk berkasih mesra.

Dan betul, perjalanan jauh membuat dua tongkat itu tak sama panjangnya. Itu karena tingkat keausan serta ada tongkat yang tumbuh. Akhirnya ibu dan anak ini jadi suami istri. Dari Toar dan Lumimuut itu terlahir manusia yang diyakini sebagai asal Suku Minahasa sekarang.


TOAR DAN LUMIMUUT


Dahulu kala, di pantai barat Pegunungan Wulur Mahatus terdapat sebuah batu karang yang bagus bentuknya. Batu karang itu tidak dihiraukan orang karena memang belum ada manusia di sekitarnya.

Suatu ketika di musim kemarau, cahaya matahari begitu menyengat sehingga batu karang itu mengeluarkan keringat. Pada saat itu pula, terciptalah seorang wanita yang cantik. Namamya Karema. Ia berdiri sambil menadahkan tangan ke langit dan berdoa, “O, Kasuruan opo e wailan wangko.” Artinya, “O Tuhan yang Maha Besar, jika Kau berkenan, nyatakanlah di mana aku berada serta berikanlah teman hidup untukku.”

Setelah selesai mengucapkan doa, batu karang itu pun terbelah menjadi dua dan muncullah seorang wanita cantik. Karema pun tidak sendiri lagi. Ia berkata kepada wanita itu, “Karena kau tercipta dari batu yang berkeringat, engkau kuberi nama Lumimuut. Keturunanmu akan hidup sepanjang masa dan bertambah seperti pasir di pantai laut. Akan tetapi, kamu harus bekerja keras memeras keringat.”

Pada suatu hari, Karema menyuruh putrinya yang cantik molek itu menghadap ke selatan agar ia hamil dan memberikan keturunan. Lumimuut pun melaksanakan perintah ibunya, tetapi tidak terjadi suatu apa pun. Karena ke arah selatan tidak berhasil, Lumimuut disuruh menghadap ke arah timur, barat, dan utara. Hal ini pun tidak membawa hasil.

Kemudian, upacara diadakan lagi. Lumimuut disuruh menghadap ke arah barat yang sedang berhembus angin kencang. Lama-kelamaan, setelah upacara selesai, badan Lumimuut menjadi lain. Ternyata, Lumimuut sudah hamil.

Selama hamil, Lumimuut selalu dijaga dan dirawat dengan penuh kasih sayang oleh Karema. Ketika saatnya tiba, Lumimuut pun melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Toar. Toar pun diberi pengetahuan dan kemampuan seperti yang dimiliki Karema.

Pertumbuhan badan Toar sangat cepat. Bentuk tubuhnya besar, kuat, kekar, dan perkasa. Di belantara hutan, Toar tidak takut dan tidak dapat ditaklukkan oleh anoa, babi rusa, maupun ular.

Setelah Toar dewasa, berkatalah Karema kepada Toar dan Lumimuut, “Sekarang sudah saatnya kalian berdua mengembara mengelilingi dunia. Aku sudah menyediahkan dua tongkat sama panjang. Tongkat untuk Toar terbuat dari pohon tuis dan tongkat untuk Lumimuut terbuat dari pohon tawaang. Kalau nanti dalam pengembaraan, kalian bertemu dengan seseorang, baik pria maupun wanita membawa tongkat seperti ini, bandingkanlah dengan tongkat kalian. Kalau tongkat kalian sama panjang, berarti kalian masih terikat keluarga. Akan tetapi, bila tongkat itu berbeda dan tidak lagi sama panjang, kalian boleh membentuk rumah tangga. Semoga hal ini terjadi dan kalian akan menghasilkan keturunan. Keturunan kalian akan hidup terpisah oleh gunung dan hutan rimba. Namun, akan tetap ada kemauan untuk bersatu dan berjaya.”

Nuwu (amanat) Karema menjadi bekal bagi Lumimuut dan Toar dalam pengembaraan mereka. Gunung dan bukit mereka daki. Lembah dan ngarai mereka lalui. Toar ke arah utara dan Lumimuut ke arah selatan. Tuis di tangan Toar bertambah panjang, tetapi tawaang di tangan Lumimuut tetap seperti biasa.

Pada suatu malam bulan purnama, di tengah kilauan sinar bulan, bertemulah Toar dengan Lumimuut. Sesuai dengan amanat Karema, mereka pun membandingkan tongkat masing-masing. Ternyata, tongkat mereka tidak sama panjang lagi sehingga upacara pernikahan pun dilaksanakan. Bintang dan bulan sebagai saksi. Puncak gunung tempat pelaksanaan upacara tampak bagaikan bola emas. Gunung itu kemudian dinamakan Lolombulan.

Setelah upacara pernikahan, mereka pun mencari Karema. Akan tetapi, ia tidak ditemukan. Kemudian, mereka menetap di daerah pegunungan yang banyak ditumbuhi buluh tui (buluh kecil). Di sanalah mereka beranak cucu. Keturunan demi keturunan, kembar sembilan (semakarua siyouw), dua kali sembilan. Kelahiran keturunan itu selalu disambut bunyi siul burung wala (doyot) yang dipercaya sebagai pertanda memperoleh limpah dan berkat karunia.

http://ceritarakyatminahasa.blogspot.com/2010/08/toar-dan-lumimuut.html 

Dalam mitos Sangkuriang, subyek dari ‘sakralitas vagina’ itu tidak anak sendiri tetapi satwa. Dayang Sumbi rela menyerahkan yoninya untuk dibuahi Sagopi, anjing piaraannya, hanya karena hewan itu melaksanakan nazarnya. Dari perkawinan itu lahirlah Sangkuriang yang kemudian diusir dari rumah karena membunuh anjing yang tidak diketahui bahwa dia adalah bapaknya.

Jika ‘cara’ Toar dan Lumimuut membenarkan problem ‘Oedipus Compleks’ dengan sarana tongkat, maka Dayang Sumbi memakai pola Wisrawa. Sagopi bukan anjing biasa. Dia satwa jelmaan dewa. Untuk itu jika ini dikembalikan pada ‘kepercayaan’, maka yang terjadi memang harus terjadi. Sudah takdir.

Telisik ‘asal’ sakralitas vagina macam ini memang diyakini berasal dari India. Secara apologia, di negeri itu kuil disebut sebagai  garbhagrha गर्भगॄह, rumah yang disucikan. Dalam pembangunannya, master kuil itu berdasar lukisan perempuan. Posisinya duduk menekuk dua kaki, dengan penekanan bagian terlarang dilukis transparan.



Garbhagriha (bahasa Sanskerta: गर्भगॄह, garbhagṛha) adalah bilik yang paling dikeramatkan di dalam Mandir (kuil, pura, atau rumah ibadat agama Hindu), tempat persemayaman murti (patung atau lambang) dari dewa utama yang dipuja di kuil itu. Secara harfiah, garbhagriha berarti bilik rahim. Istilah ini berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Sanskerta, yakni garbha yang berarti rahim, dan gṛha yang berarti rumah. Hanya para pendeta atau pemimpin upacara pemujaan (pujari) yang dibenarkan memasuki bilik ini.

Meskipun kerap dikaitkan dengan kuil Hindu, garbhagriha juga terdapat dalam kuil-kuil Jaina dan Buddha.


Detail lukisan itu penting. Sebab skema itu menyuratkan saat kuil itu sudah berdiri. Rupa dan tubuh gadis memang tidak tergambar. Tetapi bagian vital sang gadis amat menentukan. Bagian ini menjadi pintu kuil. ‘Kemaluan’ sang perempuan adalah gambaran pintu masuk kuil.

Dengan begitu terdapat pesan, bahwa seseorang yang memasuki kuil sama dengan masuk ke dalam ruang suci, kembali ke sangkaning dumadi, yang secara kasat mata sama artinya dengan memasuki vagina, di mana manusia dilahirkan ke dunia.

Bagi pemahaman Jawa, rahim seorang ibu adalah guo garbo, guo sigarane bopo, gua ‘pecahan bapak’ (seperti tersirat dalam filosofi tumbu oleh tutup), gua kesucian. Di ‘gua’ ini embrio manusia disemaikan. Janin itu ‘bertapa’ selama sembilan bulan sebelum terlahir ke dunia. Di rahim ini manusia menjalani hidup sebelum hidup. Dan di rahim ini pula manusia berproses dalam kesempurnaan fisik dan psikisnya.

Sakralitas itu tidak melulu dipahami sebagai asal manusia menjadi manusia. Dalam kehidupan di dunia pun ‘asal’ manusia itu tetap dikultuskan, sebagai unsur kekuatan di luar kodrat kemanusiaannya. ‘Sakti’ secara kanoragan dan ‘sakti’ secara spiritual juga ‘bertumpu’ pada kepercayaan asaling dumadi itu. Dan akhirnya, mistisisme jadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari manusia Jawa.

https://sawitplus.co/news/detail/6084/serat-suluk-gatolotjo-12--ini-sakralitas-yoni-versi-minahasa


Tidak ada komentar:

Posting Komentar